Kamis, 06 September 2012

Istriku

Artikel di sebuah majalah bekas yang kubaca mengatakan bahwa pria cenderung menjadi gemuk setelah menikah. Alasannya, karena pola hidup si pria menjadi lebih baik dan teratur. Tak kalah pentingnya faktor psikis, si pria merasa nyaman dan tenteram. "Mungkin, hanya akulah pria di dunia ini yang menjadi kurus setelah menikah!" gumamku dalam hati.

Dengan sengit kulempar majalah bekas ke atas meja. Praaak!!! Tak cukup hanya itu, kutendang lagi kaki meja di hadapanku. Tentu tak sekuat tenaga. Kusetel televisi dengan volume keras. Aku membuat suara gaduh supaya wanita itu terusik dari tidurnya. Lalu terbangun dan segera membuatkanku secangkir kopi serta menemaniku menonton pertandingan sepak bola. Ah, keterlaluan bila aku mengharapkan hal-hal seromantis itu darinya. Dibukakan pintu sepulang kerja saja aku tak pernah lagi. Bukankah kunci duplikat rumah kita juga ada padamu, katanya tanpa merasa berdosa.

Menyebalkan, komentator bola itu masih saja asyik dengan ulasannya tentang kedua tim yang berlaga. Kubiarkan televisi menontonku sedang membuatkan secangkir kopi. Sendok pun kubenturkan keras-keras ke cangkir saat menyeduh kopi. Bahkan dengan sengaja pula kujatuhkan ke lantai sebuah panci aluminium beserta tutupnya. Praaaaaang!

Kuintip wanita itu di kamar. Alamak, dia tak mendengarnya? Masih meringkuk seperti tadi. Kudekati untuk memastikan. Benar, dia pulas dengan dengkuran level tiga. Kalau dengkurannya sudah di level lima, aku harus menutup pintu kamar. Aku khawatir dengkuran level limanya mengganggu konsentrasi para pemain bola yang sedang bertanding di televisi. Tanpa remote control pun, channel televisi bisa berpindah karena dengkurannya.

Kuseruput kopiku dan kurasakan hangatnya melalui tenggorokan. Kuselonjorkan kaki di atas meja dan bersiap untuk suguhan pertandingan. Seperti biasa, beberapa iklan dulu. Entah pertimbangan apa produk rokok menjadi sponsor olah raga di negeri ini. Bedebah! Komentatornya muncul lagi hanya untuk mengucapkan salam berpisah. Ternyata pertandingan yang kutunggu-tunggu sudah usai saat tadi aku menyetel televisi. Dalam keadaan seperti ini, aku harus menemukan seseorang untuk disalahkan. Mataku segera menjelajah seluruh sudut rumah dan mencari-cari yang bisa kujadikan sebagai kambing hitam kejadian bodoh ini. Tentu saja mataku yang sakti dapat menembus gordyn tebal di pintu kamar dan menemukan sesosok tubuh di sana.

Aku duduk di tepi ranjang. Wanita itu masih pulas dalam tidurnya. Lehernya mendongak. Posisi yang pas sekali untuk mencekiknya, pikirku. Jantungku makin cepat memompakan darah ke seluruh tubuhku. Dadaku berdebar-debar ketika kedua telapak tanganku hampir menyentuh lehernya. Lama tanganku bergetar di atas lehernya. Kudengar suara cicak di ruang tamu mengejekku yang tak bernyali membalaskan dendam.

Aku perlu mengumpulkan keberanian untuk melakukannya, pikirku.

Kusambar kunci rumah di atas televisi. Aku keluar rumah menuju tempat sampah. Disana kulihat tujuh pot kaktusku meradang tak berdaya. Kemarin, dengan mata kepalaku sendiri, kulihat wanita itu menendangnya dari teras. Enggak ada indahnya kaktus ini, lebih baik digantikan dengan anggrek atau bunga lainnya, katanya. Anehnya, aku tak mencegah wanita itu melakukan aksinya. Bahkan aku terkesima dengan akurasi tendangannya. Bagaimana dia bisa menendang pot bungaku seakurat tendangan Bekham memberi assist kepada striker. Tujuh tendangannya sukses memasukkan pot bungaku ke dalam tong sampah.

Kulihat penderitaan kaktus-kaktusku. Aku terenyuh. Mereka hanya menaruh harapan padaku. Aku pun berbisik-bisik kepada satu per satu kaktus-kaktusku untuk tetap tabah akan cobaan yang menimpa mereka. Dan, aku akan menuntut balas atas kesewenang-wenangan ini.

Kukepalkan tinju. Aku masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu. Pasti kaktusku senang melihat kegeramanku. Atau, mungkin mereka sedang berbisik satu sama lain soal kepahlawanaku. Dengan kasar aku sibak gordyn pintu kamar. Mataku melotot penuh geram. Nafasku tersengal hingga cuping hidungku mekar. Tiba-tiba aku disambut bunyi peluit aneh. Puih…. seisi kamar disesaki aroma tak sedap. Aku menutup hidung dan mundur teratur. Mungkin wanita ini terlalu banyak memakan kubis tadi siang.

Dengan masih menutup hidung, aku duduk di sofa sambil mengipas-ngipaskan majalah di depan wajah. Soal makan memang wanita ini jagonya. Selera makannyalah yang membuatku diterima bekerja sebagai koki di sebuah restoran. Wanita ini beserta gengnya yang berjumlah belasan orang menjadi pengunjung tetap di restoran tempatku magang. Wanita ini tampak akrab dengan pemilik restoran. Pernah aku melihat mereka berbincang seraya sesekali melirik ke arahku. Pemilik restoran hanya mengatakan bahwa aku punya hoki di restoran ini.

"Namaku Sere, nama kamu Damara ‘kan?" katanya saat pertama kali kami berkenalan.

"Iya, betul, namaku Damara!" sahutku.

"Kare Kepiting Mangga Mudamu enak. Aku dan teman-temanku suka!" pujinya.

"Terimakasih sudah memujiku," ucapku sambil menunduk. Tentu dengan senyum manis yang aku bisa.

Dia juga senyum. Manis sekali. Giginya rapi dan putih. Layak menjadi bintang iklan pasta gigi.

Setelah berkenalan tiga bulan lebih, kami semakin akrab. Kami semakin sering bertemu di luar restoran. Karena sudah mengenal sifatnya yang blak-blakan, aku tak kaget ketika dia mengatakan keinginannya untuk meningkatkan hubungan kami ke taraf pacaran.

Tetapi ketika hubungan kami meningkat ke taraf yang lebih serius, bertunangan, aku menjadi sulit tidur. Suhunan, temanku sepemondokan, juga punya andil besar atas keragu-raguanku ini. Betapa tidak? Suhunanlah yang meletakkan masalah ini di dalam otakku. Sebelumnya, hanya berupa spora beterbangan di atas kepala.

"Aku enggak yakin kalau Sere itu benar-benar perempuan, Damara!" kata Suhunan suatu ketika di lapangan bulutangkis.

"Maksudmu?" tanyaku sedatar mungkin. Semoga saja Suhunan tidak mengetahui bahwa aku juga mencurigai hal yang sama. Soalnya, aku pernah dibantingnya hanya dengan sebelah tangan. Tenaganya sangat kuat layaknya seorang pria perkasa.

"Kamu tak lihat berita di koran-koran itu? Berita siang di televisi pernah menyiarkan bahwa seorang pengantin perempuan itu ternyata seorang laki-laki. Nah, kamu mau nasibmu seperti yang di koran-koran atau di tivi itu?" tanya Suhunan dengan nada serius.

Aku termangu.

"Mumpung belum terlanjur, pastikan dulu bahwa dia itu benar-benar perempuan,"

"Caranya?" tanyaku sangat polos dan berharap mendapatkan saran yang jitu.

Mendengar pertanyaanku, Suhunan tertawa sampai mengeluarkan air mata. Bahunya berguncang-guncang. Perutnya pun naik turun memompa udara ke tenggorokannya untuk menghasilkan tawa yang keras. Banyak orang menoleh ke arah kami karena suara tawanya.

Beberapa saat kemudian, Suhunan menarik tanganku dan bergegas masuk ke kantin. Kami duduk di meja paling pojok. Otakku merekam semua saran dari sobatku ini tanpa terlewat sedikit pun. Ternyata begitu mudahnya memastikan jenis kelamin Sere. Hmm, Suhunan memang seorang laki-laki berpengalaman dan cerdas, pujiku dalam hati. Andai saja aku tak punya teman cerdas seperti Suhunan, tentulah aku akan habis dihajar oleh Sere. Bagaimana tidak? Aku hanya tahu satu cara untuk mengetahui jenis kelamin seseorang yang kita ragukan, yakni: melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Mengikuti saran sobatku, maka kumulai ikhtiar memastikan jenis kelamin Sere. Pikiranku sudah terfokus ke sana. Maaf, maksudku, aku harus sesegera mungkin memastikan jenis kelaminnya sebelum menyetujui pertunangan kami.

Sebelum dipersilakan masuk ke gedung theater XXI, kami duduk di cafetaria dan kulemparkan sebuah teka-teki padanya.

"Coba tebak! Bersayap dan penghisap darah, apa coba?"

"Nyamuk!" jawabnya sambil menyentil kupingku seolah itu adalah taruhannya.

"Salah!" sahutku.

"Apa, dong?"

"Pembalut!" jawabku sambil menyentil daun telinganya tapi tak kena karena dia sudah siap untuk mengelak.

Sere tertawa.

"Ngomong-ngomong, pembalut merek apa yang paling nyaman kamu pakai?"

"Nggak ada yang benar-benar nyaman," jawabnya.

"Maksudmu tak satu pun dari merek pembalut itu yang benar-bear nyaman dipakai?"

Dia mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik bahwa dia tak suka menggunakan pembalut. Mendengar pengakuannya, mulutku hanya bisa menganga tanpa bicara. Tak salah lagi, dia seorang laki-laki. Ampun, Gusti! Tubuhku berkeringat di dalam gedung XXI yang dingin. Film yang diputar di layar lebar pun hanyalah gambar-gambar bergerak yang tak kumengerti. Suara Dolby Stereonya

pun hampir tak kudengar. Yang ada di pikiranku hanya sebuah kejadian memalukan. Aku bertunangan dengan seseorang yang berkelamin sama denganku, laki-laki.

Setahun bertunangan dengan Sere, berarti setahun pula aku tersiksa oleh keragu-raguanku sendiri. Bahwa aku mampu bertahan sejauh ini, mungkin hanya karena besarnya keinginan untuk memastikan keperempuanannya.

Tujuh tahun aku sudah menikahinya. Dia belum melahirkan seorang anak pun untukku. Banyak upaya yang sudah kami lakukan bersama. Konsultasi ke beberapa dokter ahli bahkan ke pengobatan alternatif. Dokter Lismawan menyarankan supaya Sere benar-benar istirahat, jangan terlalu letih. Sere mengikuti saran dokter itu dan meninggalkan pekerjaannya sebagai reporter televisi swasta. Hampir enam bulan dia seperti Ratu tidur. Setelah meminum obat, dia akan tidur pulas dengan berbagai suara dengkuran. Dari catatanku, ada sebelas jenis suara dengkurannya. Kali ini dengkuran jenis kesembilan. Tak salah lagi, ini dengkurannya yang paling kusuka. Seperti lagu nina bobo di telingaku.

Suara dengkuran itu pun semakin menghilang di pendengaranku. Samar-samar kulihat sesosok wanita menghampiriku. Wajahnya mirip nenek lampir. Bahkan lebih seram lagi. Betapa tidak, semua tubuhnya ditumbuhi duri yang sangat tajam. Persis seperti duri kaktus. Dari warnanya yang hitam berbelang kuning, pastilah duri itu sangat beracun. Aku melihat dengan jelas duri-duri di telapak tangannya. Dia mencekikku sekuat tenaga. Duri-duri beracun itu menancap di leherku. Aku berteriak dan meronta-ronta berupaya melepaskan diri. Kakiku menjuntai ke bawah. Meraba-raba pijakan untuk meloncat ke dalam jurang. Daripada menjadi budak bagi nenek kaktus, lebih baik aku melompat ke jurang saja, pikirku. Dan, aku pun melompat. Lebih tepatnya, aku menjatuhkan diri. Gubrakkkkk!!!

"Mimpi buruk lagi ya, Bang?" Tanya seseorang yang baru keluar dari kamar mandi.

Wanita itu tertawa terpingkal-pingkal seperti sedang menonton acara lawak di sebuah televisi swasta.

Aku mendapati tubuhku tergeletak di lantai sejajar dengan sofa. Buru-buru aku bangkit dan duduk di sofa. Tapi, aku masih linglung ketika memandangi tubuh istriku berbalut handuk. Kusentuh tubuhnya dengan lembut. Tidak berduri sama sekali. ***

Petri Terakhir

Tengah hari, langit tampak bermuram di sekeliling pandang. Terdengar gemuruh seperti suara benturan batu besar yang ditubrukkan. Percikan listrik pun berlesatan di langit. Setiap bentakan menggelegar, menyeruak pula kilau panjang yang tajam seperti hendak membelah bumi. Disebatnya nyawa sebatang pohon kelapa persis di hadapan Nini Berneh. Lagi. Wanita tua bungkuk itu tampak tidak mengebut langkah ke arah gubuk di pinggir ladang. Dibiarkannya angin merontokkan dan menerbangkan dedaunan. Tak jarang pula, dahan-dahan dipisahkan dengan batangnya. Buah langit berguguran seperti paku menghujami tubuhnya.

Dengan tertatih-tatih, Nini Berneh tiba di gubuknya yang compang-camping tapi masih cukup layak sebagai tempat berteduh. Beratap ilalang dan ijuk dengan dinding dari tepas anyaman bambu.

Dibakarnya sabut kelapa dengan mancis berminyak tanah yang selalu di simpan di gubuk. Dibuatnya api untuk meringkus dingin yang sembunyi di tubuhnya. Dagunya gemetar menggigil. Bibirnya pun membiru. Dibukanya baju dan korsetnya untuk dikeringkan. Kedua buah dadanya yang keriput menggantung memelas. Tak ada lemak di sana. Dijemputnya hangat api dengan mendekatkan telapak tangannya ke perapian, dibagikan ke leher dan wajahnya.

Di luar, hujan tampak belum mengurangi derasnya. Daun talas dekat gubuk pun ditabuh riuh oleh guguran langit.

Disodoknya bara api dengan kayu bakar untuk menambah nyala. Sesekali ditiupnya dengan bantuan sepotong bambu. Dijauhkannya wajah dari asap. Dirabanya baju dan korsetnya yang dijemur dekat perapian ternyata belum kering betul. Di buangnya pandangan ke tepas dinding anyaman bambu. Terselip di sana sebilah belati milik almarhum suaminya. Melihat belati itu, Nini Berneh seperti menghidupkan kembali suaminya.

"Orang baik tidak harus berumur panjang!" gumam wanita tua dalam hati.

Dijaganya api supaya tetap menyala dengan baik. Seperti dia menjaga catatan-catatan masa lalunya.

Kembali dia membongkar-bongkar catatan masa silam. Berharap menemukan selembar bahagia yang terlupa di tumpukan derita dan kepedihan. Ada selembar catatan yang paling sering dibacanya hingga lembaran itu tampak lebih usang dari lembaran lainnya.

Merdang adalah seorang lelaki pekerja keras penuh cinta dan tanggung jawab. Setidaknya, begitu menurut Nini Berneh yang sebenarnya bernama Tambaten tentang suaminya. Sehari-hari dia bekerja sebagai guru sekolah dasar. Masih honorer ketika itu. Saban hari, sepulang mengajar, dia menyadap pohon aren untuk dijadikan gula merah.

Setelah makan siang sepulang mengajar, Merdang pamit kepada istrinya Tambaten yang sedang menyususi Pudun, anak mereka yang baru berusia satu setengah tahun. Diterabasnya gerimis, bergegas ke ladang dengan membawa perlengkapannya menyadap. Dua buah jerigen 20 literan digantung di ujung bambu pemikul. Tentu tidak lupa belati cap garpu di pinggangnya. Belati cap garpu lebih baik karena dibuat dari baja terbaik, kata Merdang membanggakan belatinya.

Dipikulnya jerigen menyusuri jalan setapak. Di mulutnya terselip tembakau yang dilinting dengan daun nipah. Kadang dilemparkannya asap tembakau ke udara. Terbuar baunya di sepanjang jalan yang dilaluinya.

Merdang memanjat pohon aren dengan tangga sebatang bambu yang diikatkan ke pohonnya. Kiran, potongan bambu besar penampung nira aren, yang telah berisi diturunkan dan digantikannya dengan yang kosong untuk menampung nira aren yang manis.

Hari masih sore ketika ia tiba di rumah dengan hasil sadapannya. Ia tuang nira aren ke dalam kuali yang sudah menganga di atas tungku. Tentunya dituang sambil menyaring. Beberapa tawon dan serangga lainnya terjebak di saringan. Tambaten, istrinya, siap menjadikannya gula merah

"Aduh, belati dan tembakauku ketinggalan di pohon aren dekat kampung, Bu!" tiba-tiba Merdang teringat karena ingin menghisap tembakaunya. "Sebentar saya jemput ya, Bu!" lanjutnya dan buru-buru keluar dari pintu dapur tempat istrinya memasak gula.

Tambaten ingin mencegahnya tapi sudah terlambat karena suaminya keburu melompat keluar dari pintu dapur. Tambaten hanya berdiri di pintu dapur, melihat punggung suaminya yang sedang berlari-lari. Tambaten melihat langit kelabu ditingkahi gemuruh guntur. Pudun, anak mereka yang dilahirkannya setelah sepuluh tahun menikah, terdengar menangis di rebahannya. Setelah sebentar mengaduk nira aren, diambilnya anaknya untuk digendong. Disusuinya Pudun dan dibuai, tapi tak kunjung diam dari tangisnya. Mungkin digigit serangga, pikirnya lalu membuka baju anaknya dan memeriksa. Tidak ada apa-apa. Dibuainya buah hatinya dengan menyanyikan lagu sembari mengaduk-aduk larutan nira yang mulai berubah warna.

Hujan di luar deras seperti air tumpah. Atap dapur yang bocor ditampungnya dengan ember dan wadah lainnya. Irama tetesan hujan di wadah penampung air bocor menyita perhatian anaknya dan akhirnya tertidur.

Hari sudah gelap ketika hujan berhenti menggagahi bumi. Merdang belum juga pulang. Mungkin, setelah mengambil belati dan tembakaunya, dia kembali lagi ke ladang untuk memetik terong yang tumbuh di sekeliling gubuk, pikir Tambaten menampik pikiran yang bukan-bukan. Dia sangat suka dengan gulai terong yang dicampur dengan daun singkong serta diberi serai yang digebuk, katanya lagi menekan galaunya.

Kampung sangat gelap. Rumah-rumah penduduk hanya diterangi lampu teplok. Suara jangkrik mengikuti langkah Tambaten yang tergesa-gesa di kegelapan. Pudun tertidur pulas dalam gendongannya. Dengan nafas masih tersengal, diketuknya pintu rumah Arlem, kepala kampung.

"Siapa?" terdengar suara dari dalam rumah berdinding papan itu.

"Saya, Pak. Tambaten, sitrinya Merdang," jawabnya. Tak lama, pintu berdenyit dibuka oleh istri kepala kampung.

"Oh, kamu. Ayuh, silakan masuk."

"Ada apa, datang malam-malam begini, Nak?" kepala kampung keluar dari kamar sembari membetulkan sarung di pinggangnya.

"Merdang belum pulang dari ladang. Tadi ia menjemput belatinya yang ketinggalan, Pak." jelas Tambaten dengan suara gemetar. Pak Arlem, meminta istrinya untuk memberikan segelas air putih kepada Tambaten.

Pak Arlem keluar memukul kentongan untuk memanggil warga. Mendengar suara kentongan, tangis Tambaten pun meledak. Seolah-olah sudah pasti terjadi suatu bencana pada suaminya. Air matanya mengucur deras. Istri Kepala kampung mengambil alih menggendong Pudun yang masih saja pulas dalam tidurnya.

Warga banyak berdatangan. Kebanyakan bapak-bapak dan pemuda. Ibu-ibu datang tak sebanyak laki-laki. Mereka ingin tahu musibah apa gerangan yang telah terjadi.

Pak Arlem menjelaskan kepada warganya tentang Merdang yang tak kunjung pulang dari ladang hingga malam begini. Dia mengajak warganya untuk bersama-sama mencari Merdang. Setelah diskusi kecil, warga mempersiapkan diri dengan penerangan seadanya, obor minyak tanah. Mereka mencari di pohon aren terdekat lebih dahulu.

Mendekati pohon aren, warga memanggil-manggil Merdang. Berteriak-teriak dan berharap dapat sahutan. Tambaten pun ikut di serta di tengah rombongan para lelaki itu. Sembari menangis, disuluhnya setiap jengkal semak belukar dengan obor.

Hampir tiga puluh menit, Merdang belum ketemu juga. Tiba-tiba seseorang berteriak histeris membangunkan bulu remang para pencari. "Itu dia!" teriak lelaki separuh baya sambil berlari-lari meloncati semak. Sontak rombongan kaget dan berkerumun mendekatinya.

"Di mana?" hampir serentak para pencari bertanya.

"Itu! Di dekat pohon talas di lembah itu!"

Tambaten menangis sejadi-jadinya. Malam makin mencekam manakala warga menerangi tubuh Merdang yang sudah menjadi mayat. Tubuhnya hangus terbakar.

Tambaten menangis, tepatnya meraung histeris, sepanjang jalan pulang. Berduyun-duyun warga memenuhi halaman rumah Merdang. Warga berbisik-bisik menyebut Merdang tewas disambar petir yang tadi sore terdengar lebih nyaring.

Esoknya, saat penguburan jasad Merdang, Tambaten bertingkah aneh. Dengan tangis yang serak nyaris tak bersuara lagi, ia minta dikubur bersama kekasihnya. Warga pun meneteskan air mata karena haru. Malang betul nasibnya.

***

Makin sempurna malang nasib Nini Berneh. Tigapuluh tahun kemudian, terjadi peristiwa yang sama. Di tengah sawah, petir pun merenggut Pudun dan Cinur menantunya sekaligus. Masih beruntung Nini Berneh memiliki seorang cucu perempuan, Kesti. Putri semata wayang Pudun dengan Cinur. Hatinya sangat hancur. Dipeluk cucunya dengan erat. Mulutnya berdesis mengucap janji untuk membesarkan cucunya. Dan menjaganya dari apapun.

Di langit, guntur masih saja menggelegar. Seperti belum puas membentak-bentak bumi yang tak bersalah apa-apa. Dia mendapati cucunya sedang meringkuk di pojok rumah. Wajahnya pucat sekali. Kedua tangannya dalam keadaan siap untuk menutup mata, bukan untuk menutup telinga karena dia seorang yang tuli. Nini Berneh jelas sekali mendengar degup jantung cucunya. Mata cucunya terbelalak, nafasnya berdengus di dekat wajah Nini Berneh. Cucunya dalam ketakutan yang sangat luar biasa.

Tak lama, Nini Berneh bergegas keluar rumah. Diacungkannya belati suaminya ke langit. Berteriak-teriak membentak langit untuk segera mengeluarkan petir dari persembunyiannya. Nini Berneh menantangnya untuk bertarung.

Warga pun terheran-heran karena hampir puluhan tahun lamanya Nini Berneh tak pernah bicara. Tepatnya sejak Pudun dan menantunya meninggal. Dan, ternyata cucunya pun terlahir sebagai seorang tuna rungu dan tuna wicara.

Dalam keheranan, tidak seorang pun warga kampung tampak hendak mencegah tindakan Nini Berneh yang berbahya itu. Lebih baik melindungi diri sendiri dari sambaran petir yang kerap makan korban di kampung ini, begitu pikir warga.

Petir pun bersahutan di langit seperti sedang membuat rencana besar untuk menyerang Nini Berneh. Tak surut walau sedikit, makin keras saja teriakan wanita tua itu di halaman rumahnya. Diperingatkannya petir yang congkak itu untuk tidak lagi semena-mena menakuti cucunya.

Tiba-tiba sekali, terdengar suara gelegar dahsyat di depan rumahnya. Dhuaaaar!!! Kilatan pijar yang panjang dan tajam tampak menyerang Nini Berneh. Tapi, melebihi kecepatan kilat, Nini Berneh berhasil menancapkan belati cap garpu ke tanah. Dikuburnya petir itu di sana. Petir terakhir! (Jangan ditiru!)

Jakarta, Nopember 2011

Jumat, 27 April 2012

Celana Panjang

Malam sudah jauh meninggalkan senja jingga. Wajah desa tampak sempurna disepuh purnama. Angin malam tergesa-gesa masuk melalui celah dinding papan. Dingin. Aku memasukkan kakiku ke dalam sarung hijau kotak-kotak, yang kalau pagi hari, juga kugunakan sebagi handuk. Kubenarkan posisi kepalaku di atas bantal yang tak lagi empuk. Mataku tertuju ke balik pintu kamar. Di sana tergantung pakaian yang akan kukenakan besok pagi. Baju biru muda berlengan panjang bermotif garis-garis vertikal dan juga celana panjangku. Oh... itu celana panjangku yang pertama. Tadi siang, aku dan nenek membelinya dari pasar yang sekali seminggu di kota kecamatan.
"Yang ini saja ya, Mara? Cobain dulu, nah." nenek menyodorkan sepotong celana panjang berbahan denim. Aku mengangguk dengan senyum. Girang tak terkira. Aku disuruh mengepas celana panjang nomor dua puluh enam. Pas dan nyaman dipakai. Rasanya aku tak ingin menanggalkannya dari tubuhku.

Mestinya, nenek tidak perlu lagi menyuruhku mengepas celana nomor dua sembilan itu karena sebelumnya sudah mengepas ukuran dua enam yang pantas untuk ukuran tubuhku. Aku senyum. Berusaha menutupi ketidakpuasanku kepada putusan nenek. Aku tak mau nenek kecewa karena beliau segalanya bagiku sepeninggal ibu kandungku yang konon pergi dengan lelaki lain.

"Masih lebih baik kelonggaran daripada kesempitan," gumamku dalam hati. "Daripada seperti celana si Rikson, robek persis di belahan pantatnya ketika dia naik ke atas panggung pada perayaan tujuh belasan dulu. Ih....., malunya bukan kepalang! Kalaupun terlalu besar, nanti setiba di rumah aku minta saja kepada kakek supaya dikecilkan." Aku menghibur diriku sendiri.

Dipermak tanpa menggunting, celanaku menjadi sedikit nyaman dipakai. Kelak jika sudah sempit, jahitannya bisa dibuka lagi, kata kakek memberitahu alasannya dipermak sedemikian rupa. Kakek memang tukang jahit terbaik di kampung. Dari desa tetangga juga menjahitkan pakaiannya kepada kakek. Sudah barang tentu pakaian kami juga. Nenek cukup membelikan bahan kain di pasar, kakek akan menjadikannya celana atau baju untuk aku dan abangku, Jogi. Kami selalu dijahitkan pakaian yang sama. Serperti anak kembar saja kami diperlakukan dalam hal pakaian. Memang, tubuh kami juga hampir sama besarnya walau usia kami terpaut dua tahun. Betul kata nenek, aku memang bongsor. Karena sudah buru-buru untuk kupakai, kakek dan nenek sepakat untuk membeli celana jadi dari pasar saja. Oh, aku hampir lupa, nenek juga membeli celana dan baju buat abangku Jogi. Hanya saja......

"Aku tidak mau memakai celana selonggar ini, Nek! Dan aku juga gak mau celana ini dipermak. Tunggu saja sampai ukuran badanku sebesar ukuran celana ini." Kata abangku lantang tak tahu diri.

"Aku malu sama teman-teman, Nek. Nanti dikira orang lagi celana ini celana curian Ayah!" Suaranya gemetar menahan tangis di tenggorokannya.

Baru kali ini aku melihat wajah Jogi begitu sedih bercampur kesal. Memang, menyakitkan sekali tudingan-tudingan Rikson, anak juragan Salamun. Pernah digosipkan bahwa ibu kami binal dan ayah kami seorang copet di kota. Dua tahun lalu, Rikson juga pernah menebar fitnah bahwa sepatu baru kami adalah hasil curian ayah di kota. Padahal, sepatu itu nenek beli dengan hasil menjual kapuk yang sudah lima tahun dikumpulkan. Tampaknya nenek sangat memahami kenapa Jogi sesedih itu. Dipeluknya Jogi yang duduk di dekatnya. Diusapnya kepala yang sedang sesenggukan menahan tangis.

Kakek diam seribu bahasa. Sesekali kulihat kakek menjemput udara ke dadanya. Selalu saja kakek seperti itu bila pembicaraan kami mengenai ayah, anaknya semata wayang. Dari tatap matanya yang hampa, kutahu rindu sudah mengepungnya dari segala penjuru.

***

Kukuruyuk si Altong, ayam jantanku, menyambar telingaku. Sontak aku berhenti memutar ulang peristiwa tadi sore. Kulihat weker masih di posisi dua limabelas. Ah, kali ini si Altong ngawur. Mungkin dia ingin segera cepat-cepat bertandang ke kandang ayam tetangga. Seperti aku yang sudah tidak sabar mengenakan celana panjangku.

Kupejamkan mata dan berharap segera tidur lelap. Kututupi wajah dengan bantal yang seharusnya di bawah kepalaku. Baunya sarat getir dan pedih. Di sana, banyak kutumpahkan cerita rindu kepada ibu. Rindu yang bergulung-gulung kepada ibu kandung. Ingin sekali aku melihat rupa ibuku. Konon, aku mirip dengan ibuku, rambutnya lebat seperti rambutku, tatap matanya seperti tatap mataku, tidak seperti tatap mata Jogi yang dingin. Kepada ayah juga aku rindu. Ingin sekali aku ditemani ayah saat menerima rapor dan menerima hadiah juara kelasku.

Walau tak pintar, Jogi tidak cengeng seperti aku. Dia sering berkelahi dengan teman sebaya kami. Rikson pernah dihajarnya babak belur, bibirnya pecah, tangannya keseleo karena dipelintir abangku. Nenekku menawarkan diri untuk mengurut Rikson tapi orang tuanya tidak sudi. Kakek sangat geram mengetahui Jogi berkelahi lagi. Di depan teman sebaya kami, kakek menghukumnya dengan melibaskan ranting kopi di kakinya. Dia tidak menangis saat menerima hukuman itu. Juga tidak minta ampun agar kakek segera menghentikan pukulannya.

Aku pernah melihatnya menangis. Sekali. Malam itu, di dekat mesin jahit di sudut rumah. Dia mendongakkan wajahnya ke atas hingga bagian kepalanya menempel di tiang kayu rumah. Kulihat air bergulir dari matanya. Oh, air mata itu sangat langka. Tentu saja aku juga menitikkan air mata. Aku berpura-pura tidak melihat. Buru-buru kuseka air mataku dengan bantal. Aku berpura-pura tidur lelap. Tak lama Jogi mendekatiku dan membaringkan tubuhnya di dekatku, di sebelah kananku. Diselonjorkan kakinya masuk ke dalam sarung birunya. Aku membelakanginya. Seperti biasa kami selalu tidur saling membelakangi. Aku kaget sekali ketika dia memelukku dari belakang. Baru kali itu dia memperlakukan aku adiknya sedemikian rupa. Nyaman sekali. Tidurku pun pulas.

"Bangun, Mara, sudah pukul lima!" Jogi menggoyangkan tubuhku yang kutekuk karena dingin. Kulihat dia sudah rapi dengan seragam sekolah. Aku beringsut ke tepi ranjang yang berderit-derit menahan tubuhku. Kulihat Jogi pamit kepada nenek, dia hendak berangkat ke sekolah. Aku minta ijin sehari tidak masuk sekolah karena hari ini aku diajak kakek ke kota memenuhi undangan Pak Johan, teman kakek seperjuangan masa penjajahan dulu. Putra Pak Johan menikah dengan seorang gadis Belanda. Kakek menjadi protokol adat dan juga sebagai penerjemah.

***

"Amangboru, si Jogi di kantor polisi!" kata Herman dengan nafas tersengal-sengal mendekati kami yang baru tiba di kota kecamatan.

"Hah?"

"Di kantor polisi mana? Kenapa sampai masuk kantor polisi?"

"Di kantor polsek itu, Amangboru!" jawab Herman seraya menunjuk kantor polisi yang memang dekat dengan tempat kami turun dari bis tadi.

"Dia menikam Salamun dengan bayonet!" lanjut Herman sembari mengangkut tas kakek. Dibawanya langkah kami ke arah kantor polisi.

"Kenapa bisa sampai begitu?" tanya kakek lagi seraya menambah laju langkah menyejajari langkah Herman.

"Tanyakan langsung saja nanti kepada Jogi, Amangboru," sahut Herman gesit.

"Jogi menikamnya dengan bayonet yang sangat tajam. Itu bayonet Amangboru, bukan?" tambah Herman lagi. Dia selalu tertarik dengan peralatan atau senjata dari besi. Maklum, Herman seorang pandai besi.

Tak menjawab, kakek tergesa-gesa melangkah mendahului Herman masuk ke kantor polisi. Kakek menemui seorang anggota polisi yang bertugas. Polisi itu terlihat sangat hormat kepada kakek. Anggota polisi yang lain mengantarkan kami menemui Jogi yang sedang terduduk di balik jeruji. Jogi sangat terkejut melihat kedatangan kami. Mukanya tampak biru. Masih ada sisa darah kering di bibirnya yang pecah. Jogi pasti dihajar habis-habisan oleh keluarga korban. Aku menghambur mendekatinya. Kuraih wajahnya dari balik jeruji besi. Kuletakkan tanganku di kedua pipinya. Air mataku mengucur deras melihat derita di wajahnya. Kusingkap baju napi yang dipakai. Astaga, tubuhnya dipenuhi biru lebam. Ingin kupeluk abangku yang baik ini. Ingin sekali aku menggantikannya dipenjara. Ingin kugantikan dia merasakan sakit di tubuhnya. Kuremas jeruji besi seakan mencekik leher Salamun. Aku tahu betul alasan Jogi berbuat semua ini. Sudah lama dia ingin mengambil bayonet kakek dan membuat perhitungan kepada penebar fitnah keji itu.

Kakek tertunduk lesu. Disekanya air yang tersisa di sudut matanya. Tak lama, kakek menemui penjaga lagi. Mungkin mereka membicarakan sesuatu yang penting dan rahasia sehingga polisi itu menutupkan pintu. Dari Bang Jogi aku tahu bahwa kejadiannya dua hari yang lalu. Bersamaan pada hari kami berangkat ke kota. Jogi bolos dari sekolah hari itu dan segera mencari-cari bayonet kakek di rumah, saat nenek sudah di ladang memetik kopi. Setelah mendapatkan bayonet, Jogi menuju kedai kopi tempat Salamun biasanya main catur. Baju seragam sekolahnya sengaja tidak dimasukkan ke dalam celana. Seperti seorang pendekar yang selalu siaga membela diri, dia menyelipkan bayonet tajam itu di pinggangnya.

Seperti biasa, Salamun banyak cakap saat main catur. Kadang dia membuat lelucon dengan berbual. Penduduk desa pun tampak senang mendengar bualannya walau kerap juga menyakitkan. Kalau ada orang yang tersinggung dengan banyolannya, biasanya orang itu akan mendiamkannya saja. Takut masalah jadi panjang. Dan, konon Salamun berilmu tinggi juga kebal senjata.

Tapi jangan menyinggung perasaan abangku Jogi. Mungkin karena kekurangan bahan lelucon, Salamun menyebut lagi kalau ibu kami pernah ditidurinya. Keterlaluan, begitu dalam hati Jogi saat menancapkan bayonet di punggungnya. Lima bacokan mendarat di tubuh bagian belakang Salamun dan tujuh di bagian depan. Terjadi perkelahian yang hebat di kedai kopi. Salamun tidak mati. Mungkin karena bacokan Jogi tidak menyasar ke bagian vital atau karena tenaganya saat membacok tidak sekuat orang dewasa.

Palu diketuk, Bang Jogi dihukum penjara.

"Saat bebas nanti, kamu sudah cukup besar memakai celana panjang itu!" kata kakek bergurau sembari memeluk kami berdua. ***

Jakarta, Januari 2012

Kamis, 26 April 2012

Janji Lowry

Sore sangat teduh, angin pun bertiup tenang menyejukkan tebing dan ngarai. Di bawah sana, hamparan sawah menguning terlihat indah dari tebing ini. Dengan hati-hati sekali, aku menjejakkan kaki di batu pijakan yang sempit. Aku mulai memotret elang yang sedang menyuapi anaknya. Beberapa kali sudah kupotret momen indah itu. Mata tak kujauhkan dari kamera karena sekaligus kupakai sebagai teropong. Ada dua anaknya, belum sempurna ditumbuhi oleh bulu. Keduanya bercericit tak sabar menerima suapan dari sang induk. Tak begitu lama, mangsa itu sudah berpindah ke perut anak elang. Tiba-tiba sang induk mengepakkan sayapnya sampai-sampai ranting di sarang sebagian terjatuh. Suaranya melengking di udara. Ups, sang induk menyadari kehadiranku di sana dan terbang marah ke arahku. Kali ini, aku yang kaget. Praakkk...

Banyak orang berdiri di sekeliling ranjangku. Mereka membicarakan elang yang sangat sayang kepada anaknya. Tapi, tak satupun dari mereka yang senang dengan induk elang yang penuh kasih sayang. Aku sangat ingin menjadi anak elang itu. Dekat dengan ibu yang sangat penuh rasa sayang. Ibu...... sembilan bulan sepuluh hari aku di rahimmu, sembilan bulan duapuluh hari aku ibu susui. Hanya sesingkat itu aku disebut punya ibu. Mengapa harus meninggalkan aku hanya karena lelaki itu tak sehebat ayah?

Walau ditemani banyak orang, liang sunyiku tampak legam di dalam. Tidak seperti biasa, mereka berbicara seperti membaca puisi tentang langit yang tak pernah kumengerti. Selang berapa waktu, kudengar seorang dari mereka menyanyikan lagu yang kuhafal betul liriknya dan lagunya. Aku juga mendengar suara gunting berdenting. Perlahan, suara gunting berubah menjadi tangis yang sendu. Aku ingin sekali melihat siapa yang menangis di dekatku, tapi aku sangat lelah dan tertidur. Dalam mimpiku, tangis itu adalah milikmu, Lowry.

"Ayo, diminum dulu obatnya," katamu layaknya kepada anak kecil.

"Baik, bu dokter!" jawabku.

Kau tidak secerewet dulu lagi, Lowry. Hanya sedikit kau bicara kepadaku, itu pun hanya penjelasan obat yang harus kuminum. Sesekali kau tersenyum. Aku sangat suka dengan senyummu itu. Masih seperti dulu, rambutmu yang keriting spiral juga menawanku di setiap lekuknya. Aku masih ingin menatap wajahmu, tapi obat yang barusan kutelan mengantar aku ke tidur yang lelap. Masih kurasakan genggaman tanganmu yang hangat.

Ketika terjaga di tengah malam, rasa nyeri di kaki dan kepalaku membuatku meringis. Aku menghubungimu di handphone yang baru tadi siang nomornya kau berikan. Aku telpon supaya kamu membelikan aku sebungkus nasi Padang dengan lauk ayam bakar, telor bulat dan pergedel. Rasa laparku terasa sangat hebat. Akan segera datang, jawabmu di ujung telpon, karena rumah makan Padang duapuluh empat jam, ada di depan rumah sakit tempatku dirawat, juga tempatmu bekerja sebagai dokter. Kupandangi fotomu yang ada di handphoneku. Tadi siang kau peluk aku sembari menjepretnya dengan Blackberry-mu, kau kirim ke handphonku via bluetooth. Kau tersenyum, manis sekali.

Aku tersenyum mengingat kebetulan-kebetulan seperti ini hanya ada di film layar lebar yang pernah kita tonton dulu. Rasa sakit dan rasa lapar bisa aku lupakan, tapi pertemanan denganmu takkan mungkin kulupakan.

Kelas tiga sekolah dasar, walau usia kita terpaut dua tahun, aku satu kelas denganmu. Aku tinggal kelas di kelas tiga, dan kamu masuk sekolah dengan usia lebih muda dari umumnya usia masuk sekolah. Kau anak yang pintar dan selalu menjadi juara kelas. Aku sering bertandang main ke rumahmu sekalian mengerjakan pekerjaan sekolah. Kau juga sering datang bertandang ke rumahku. Kalau ayahmu pulang dari luar kota, selalu saja beliau membawakan untukku oleh-oleh pensil warna. Beliau tahu aku suka mengajari adikmu Ando menggambar. Kata ayahmu yang pegawai bank pemerintah itu, aku sangat berbakat menjadi pelukis. Aku senang bila ayahmu yang memuji.

Sering juga kamu kuajak ke ladang nenekku mengambil jambu biji, mangga, langsat dan rambutan bila musimnya. Kau sangat suka makan tebu. Manja sekali kau bila memintaku untuk mengupas kulit tebu dan memotong-motongnya. Sering, tebu yang kukupas lebih banyak untukmu daripada untukku sendiri. Belum lagi jambu biji yang kupetik, semuanya kau bawa pulang ke rumahmu sebagai hadiah buat adikmu Ando. Kau senang sekali hingga saat pulang, kau berlari kecil sambil menari-nari dengan sekantong buah di tanganmu. Kadang-kadang kau berputar layaknya penari balet. Rambut keritingmu juga menari-nari di hadapanku. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah kau menandai jalan dengan ampas tebu dari mulutmu.

Ketika sekolah pulang lebih awal, bersama teman sekelas, kita ke ladang nenekku lagi. Entah bagaimana kau menceritakan kepada teman-teman tentang ladang nenek yang banyak buah-buahan itu hingga mereka juga menuntut untuk ikut berpesta. Aku senang melihat semua teman kita lahap menyantap buah yang ada. Jambu air sedang musimnya. Teman-teman sibuk memunguti buah jambu air yang kupetik dan memasukkannya ke kantong plastik untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.

Kau tidak mau buah yang terjatuh ke tanah, walaupun itu baru dipetik. Kau memang sangat manja padaku. Apalagi di hadapan teman-teman kita, kukira kau sedikit berlebihan. Akhirnya aku memanjat pohon jambu itu dengan membawa kantong plastik. Penuh sekantong kubawa turun. Karena leher dan mataku digigit semut rangrang, aku melepas pelukan tanganku dari pohon dan akupun terjatuh. Tidak tinggi memang tempatku jatuh, tapi cukup membuatku tak bisa bangkit berjalan. Kakiku keseleo.

Kau menangis memegangi kakiku yang keseleo. Teman-teman memanggil nenek ke gubuk yang ada di ladang tak jauh dari pohon jambu. Nenek memapahku ke gubuk untuk diurut. Kau pun ikut-ikutan memapahku di sisi yang lain. Tertatih aku berjalan sambil merangkul nenek menuju gubuk. Teman-teman saling berbisik mengikuti dari belakang, tapi tetap memegang jatah jambu masing-masing.

Saat diurut, walau terasa sakit sekali, aku tidak menangis. Kau masih saja menangis sesenggukan. Kau bantu nenek mengurut kakiku, tanganku juga kau pijit walau aku tak mengeluhkannya sama sekali. Saat itulah pertama kalinya kau bercita-cita menjadi dokter. Biar bisa merawatku, katamu masih terisak. Kau katakan itu kepada nenek dan teman-teman jadi saksinya.

Nenekku hanya tertawa melihat keluguanmu yang lucu. Nenek menyeka air matamu. Nenek menghiburmu dengan mengambil tebu dan mengupas serta memotong-motongnya. Kucoba berdiri tanpa menunnjukkan rasa sakit bermaksud supaya kau mau menerima tebu kesukaanmu dari nenek. Kita pun tertawa bersama.

"Kok tertawa sendiri, Yud?" katamu menggunting nostalgia yang mengikatku di masa silam.

"Eh, nasi Padang datang. Aku sangat lapar, nih," kataku bergegas duduk.

"Itu pertanda kau sudah pulih, Yud."

"Kusuapin, ya," katamu sambil membuka bungkusan nasi.

"Eits, aku gak usah disuapin, Lowry," kataku menolak karena tak suka bermanja.

"Biar seperti foto elang yang kamu potret itu!" katamu sembari menunjuk foto-foto yang ada di atas meja. Kau mengambil foto-foto itu dan memberikannya padaku.

"Dino, temanmu yang menitipkannya tadi siang saat kau sedang tidur." katamu menyebut temanku mendaki. Dia temanku kuliah pascasarjana yang juga hobby mendaki dan photografi.

"Kameraku bagaimana, Lowry?" tanyaku.

"Ada di tempat kostmu. Tidak rusak sama sekali!" sahutmu. Aku masih membolak-balik semua foto. Ada 168 lembar foto dan semua aku suka. Mulai dari anggrek hutan, ular sanca yang sedang mengganti kulitnya hingga foto elang yang menyuapi anaknya.

Dan benar seperti anak elang itu, aku mengangakan mulut menyambut suapan demi suapan. Aku lahap sekali dan tak mengira sebungkus nasi padang sudah ludes diringkus rasa laparku. Kau tampak senang dan segera memulai bernostalgia tentang masa-masa kita SMP.

Kau terpingkal-pingkal saat kuulang cerita yang sama-sama kita alami. Risma, teman kita terjatuh dari panggung saat mengikuti festival folksong. Panggung memang terlalu sempit bagi group kita yang beranggotakan enam orang. Aku sebagai pemetik gitar, alat musik pengiring, berada paling pinggir. Kau di sebelah kiriku, Rikson, Chika, Risma dan Marni paling ujung kanan. Marni yang bersuara sumbang itu ngotot harus ikut tampil. Kita sepakat dengan syarat, mikrofon harus di jauhkan dari mulutnya. Prakteknya saat di panggung tidaklah demikian. Dia merebut mikrofon dari tangan Risma dan menguasaiya.

Karena sebal dengan suara sumbangnya yang dominan, aku sentuh pinggulmu dengan gitar untuk memberi isyarat. Kau pun mengerti maksudku tentang suara sumbang Marni. Kau mengestafetkan pesan ke Rikson hingga ke Risma dengan mencolek atau menyenggol pinggul. Risma pun menyenggol pinggul Marni beberapa kali tapi yang disenggol tidak juga mengerti. Masih saja mikrofon didekatkan ke mulutnya. Suaranya pun makin dikeraskan seolah berteriak histeris, padahal lagu saat itu berirama pop, bukan irama rock.

Jengkel bercampur putus asa, Risma menyenggolkan pinggulnya ke pinggul Marni dengan sekuat tenaga. Marni pun hampir jatuh dan its.. eits..., akhirnya jatuh juga. Dia tak mau jatuh sendirian, diraihnya tangan Risma tapi tak dapat. Yang dapat diraih hanya ujung roknya Risma, dan mereka pun terjungkal bersama. Tubuh Risma dengan posisi nungging menindih tubuh Marni yang gemuk. Pakaian dalam Risma tersingkap dan Rikson pun tertawa geli. Lama dia tertawa melihat pemandangan itu tanpa bergegas untuk menolong. Sebulan dari kejadian itu, Rikson dan Risma makin akrab. Berpacaran, dan tujuh tahun berikutnya mereka menikah.

Namanya jodoh bisa-bisa saja, katamu tertawa menutup nostalgia kita di subuh yang hangat. Subuh pun berlalu penuh hangat. Kau tertidur pulas di sofa kamar VIP tempatku dirawat. Kupejamkan mata melanjutkan sendiri kisah yang terpenggal. Kisah kita, Lowry.

Kita berpisah saat SMA. Kau sekolah SMA favorit di Medan, tempat ayahmu pindah tugas. Aku sekolah di SMA Sumbul. Hampir setiap minggu kita bertukar kabar melalui surat. Setiap suratmu selalu kubalas dengan segera. Pak Pos pengantar surat sudah sangat kenal dengan tulisanmu yang khas. Sering amplop suratmu bertuliskan: Terima kasih, Pak Pos yang baik. Isi surat kita pun hanya berkutat di seputar sekolah.

Sebenarnya aku mulai muak dengan pembicaraan kita di surat. Pernah aku hampir tidak membalas suratmu karena menanyakan nilai-nilai raporku. Nilai matematikaku hanya nilai lima. Aku tahu, kamu pasti akan menertawakan nilai itu. Terlintas di pikiranku untuk membohongimu dan menyebut nilai matematikaku sembilan di rapor. Aku tak tega berbohong kepadamu. Akhirnya, aku menuliskan semua nilai-nilai raporku di surat.

Benar dugaanku, kau menertawai nilaiku tapi juga panjang lebar menasihatiku untuk belajar lebih giat di suratmu berikut. Kubalas suratmu dengan seolah-olah akan mengikuti anjuranmu, padahal sama sekali aku tak berniat melakukannya. Yang penting kau senang dan tidak menanyakan itu lagi. Berikutnya, kau kirimkan aku buku-buku yang kau pelajari di sekolahmu dan buku soal dari tempat kursusmu. Semula aku ingin muntah mempelajari soal-soal itu. Di buku-buku itu, banyak kau tuliskan puisi indah. Namaku juga kau tulis di beberapa halaman. Aku suka tulisan tanganmu. Ada gambar hati yang terpanah di halaman paling belakang. Di dalam gambar hati itu kau tulis namamu dan namaku. Apa gerangan yang kau pikirkan saat menuliskan nama kita. Apakah kau juga merasakan seperti yang kurasakan?

Seperti tersudut, aku dikepung rindu dari segala penjuru. Kutulis surat mendahului suratmu padaku. Isinya tidak seperti yang lalu-lalu. Kali ini kutulis penuh rindu yang menggebu. Bila bernasib baik, kau juga rindu padaku. Di dalam surat kukatakan aku sedang sangat ingin memeluk seorang ibu. Sering aku terbangun di tengah malam dan keluar rumah hanya untuk memandang bulan. Sejak kecil, bila menayakan ibuku ada di mana, nenek selalu menjawabnya di bulan. Tak cukup rasanya hanya kuutarakan rasa sepi di dalam surat. Satu bulan baru kau membalas suratku. Tak ada kata rindu dalam suratmu. Dingin. Tapi, aku mendapatkan bekas air di suratmu. Aku sangat yakin, itu bekas air matamu yang jatuh karena kau juga rindu padaku. Semoga.

Kubalas suratmu, yang menurutku ditetesi air matamu, dengan kalimat singkat: Hari libur, Kamis minggu depan, aku akan mendatangimu karena rindu.

Tanpa malu, kau memelukku di halaman rumahmu di bawah bougenville yang berbunga lebat. Pelukanmu sangat erat tapi hanya sedikit matamu berair. Orangtuamu, adik-adikmu dan pembantu sangat ramah padaku. Kau ajak aku ke kamar Ando, adikmu yang sering kubuatkan layangan dan kuajari menggambar. Adikmu tak keberatan ketika kau minta untuk berbagi kamar denganku. Ando mengambil gitarnya dan menyodorkannya padaku berharap aku mau mengajarinya juga. Dia sedang getol-getolnya belajar

memetik gitar. Tak lama, kau tarik tanganku dan beranjak ke luar rumah. Kita bernyanyi di bawah bougenville. Aku melihat ke dalam bening bola matamu. Tak kutemukan apa-apa di sana. Atau aku yang kurang pintar menyelaminya.

Kau mengajakku ke tempatmu kursus, ke tempat teman sebangkumu Lily, ke perpustakaan umum. Oh ya, aku mulai gemar membaca sejak kau mengirimiku buku bekas kursusmu. Dan aku banyak menulis puisi. Untukumu dan tentangmu semua. Sepulang dari perpustakaan umum, kita ke pasar buku bekas. Dengan uang jajanmu, kau belikan aku banyak buku. Di sana juga kita menyempatkan diri untuk berfoto Polaroid, langsung jadi. Mat Kodak tampak senang dengan keceriaanmu. Enam posemu semua menarik. Selain saat memelukku, pose saat aku menggendongmu di punggung juga aku suka. Kau langsung meloncat di punggungku ketika itu dan menyuruh Mat Kodak memotretnya. Kau berikan tiga lembar foto itu untukku dan tiga untukmu.

Saat tiba waktu pulang, hatiku bagai diiris-iris sembilu. Kau mengantarku ke terminal bis bersama Ando. Aku pulang dengan balutan galau yang tebal. Sepanjang perjalanan pulang aku gelisah mengingat peristiwa malam itu. Aku memberanikan diri menanyakan masalah hubungan kita. Aku katakan lagi padamu, bila ditanya teman tentang pacar, aku mengatakan sudah punya dan kau kusebut pacarku, Lowry. Kau hanya tertawa terbahak. Aku pura-pura melucu dengan apa yang kukatakan karena kau menganggapnya demikian. Kau anggap aku sedang melawak padahal aku berharap kau mengiyakan status hubungan kita: berpacaran.

Mungkin karena terlalu sibuk dengan belajar, satu semester terakhir kelas tiga SMA, kau hanya mengirmku sepucuk surat. Hanya sekali. Kau memberitahukan bahwa kau masuk perguruan tinggi ternama di Jakarta dengan jalur khusus. Fakultas Kedokteran. Itu suratmu yang paling terakhir di masa kita SMA. Pernah kucoba menulis surat ke alamat rumahmu di Medan dulu, surat yang kukirim kembali kepadaku karena kalian sudah pindah entah kemana.

Aku mendatangi alamatmu dulu dengan harapan mendapatkan iformasi dari tetangga kemana kalian pindah. Hasilnya nihil. Seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga, aku tertunduk lesu. Kupetik setangkai bunga bougenville warna pink yang pernah mendengar lagu kita. Bukit berbunga.

Sepuluh tahun kemudian, entah bagaimana kau menemukan sekolah tempatku mengajar di Medan, kau mengirimkan suratmu dengan beberapa lembar foto. Setelah membaca suratmu, aku tak bergairah lagi untuk mencari tahu alamatmu dan suratmu pun tak tuntas kubaca. Di balik foto kau tulis nama lelaki di sebelahmu bernama Benny, calon suamimu. Tanganku gemetar. Laksana ditimpa beban berat, aku sesak. Sesak sekali tap tak ingin rasanya aku menarik nafas untuk paru-paruku. Aku meratapi diri dengan diam yang hakiki. Sejak itu, kucari kesenangan lain untuk mengubur catatan-catatanku tentangmu. Bersama teman-teman kuliah pasca sarjana, aku mendaki, memanjat tebing dan photografi.

Sebelum pulang dari rumah sakit, kau mengemasi barang-barangku dan akan mengantarku ke tempat kostku setelah mampir sebentar di rumah orangtuamu. Namanya kebetulan selalu saja indah buatku, ternyata kita bekerja di satu kota yang sama. Kau terduduk di sofa dengan wajah sunyi. Kulihat matamu berkaca-kaca. Kau tertunduk menyembunyikan sejuta luka dan sesal. Kedekati kau dan duduk di sebelahmu. Kubiarkan bahuku tempatmu menumpahkan air mata. Hatiku pilu mendengar semua penuturanmu. Katamu, sejak dulu kau cinta sama aku dan mengaku-ngaku kepada temanmu perempuan kalau aku adalah pacarmu. Menurut pengakuanmu, kau mencintaiku sejak terjatuh dari pohon jambu. Kelas tiga sekolah dasar? Aku tak percaya dan tawaku hampir meledak-ledak.

"Tapi bagaimana dengan Benny calon suamimu?" tanyaku penuh selidik.

"Benny mati terbunuh!" jawabmu tanpa rasa sedih.

"Ando yang menembaknya dengan pistol yang diberikan Luna, istri Benny." lanjutmu lagi.

"Hah? Ando yang membunuh?" Aku sangat heran lelaki bernama Ando, maaf kalau aku menyebutnya kewanita-wanitaan, mampu membunuh.

"Iya, Ando yang membunuh karena tak bisa menerima kakaknya dibohongi oleh lelaki yang sudah beristri tapi mengaku lajang. Sekarang Ando masih di penjara."

Aku tak tahu harus berduka atau bersuka cita mendengar kabar ini. "Sepulang dari sini, kita langsung besuk Ando saja!" kataku lalu menciummu. Kau bergeming tak menolak atau marah. Kuseka air matamu, sama seperti nenek menyeka air matamu dulu.

Sepanjang perjalanan menuju penjara, tempat Ando ditahan, aku memandangimu yang anggun di belakang setir. Di lekuk keritingmu, masih tertulis sebuah janji: Kau akan merawatku. Bukan sekedar merawat, kau sudah menjadi obat bagiku, Lowry. Jakarta, September 2011