Jumat, 27 April 2012

Celana Panjang

Malam sudah jauh meninggalkan senja jingga. Wajah desa tampak sempurna disepuh purnama. Angin malam tergesa-gesa masuk melalui celah dinding papan. Dingin. Aku memasukkan kakiku ke dalam sarung hijau kotak-kotak, yang kalau pagi hari, juga kugunakan sebagi handuk. Kubenarkan posisi kepalaku di atas bantal yang tak lagi empuk. Mataku tertuju ke balik pintu kamar. Di sana tergantung pakaian yang akan kukenakan besok pagi. Baju biru muda berlengan panjang bermotif garis-garis vertikal dan juga celana panjangku. Oh... itu celana panjangku yang pertama. Tadi siang, aku dan nenek membelinya dari pasar yang sekali seminggu di kota kecamatan.
"Yang ini saja ya, Mara? Cobain dulu, nah." nenek menyodorkan sepotong celana panjang berbahan denim. Aku mengangguk dengan senyum. Girang tak terkira. Aku disuruh mengepas celana panjang nomor dua puluh enam. Pas dan nyaman dipakai. Rasanya aku tak ingin menanggalkannya dari tubuhku.

Mestinya, nenek tidak perlu lagi menyuruhku mengepas celana nomor dua sembilan itu karena sebelumnya sudah mengepas ukuran dua enam yang pantas untuk ukuran tubuhku. Aku senyum. Berusaha menutupi ketidakpuasanku kepada putusan nenek. Aku tak mau nenek kecewa karena beliau segalanya bagiku sepeninggal ibu kandungku yang konon pergi dengan lelaki lain.

"Masih lebih baik kelonggaran daripada kesempitan," gumamku dalam hati. "Daripada seperti celana si Rikson, robek persis di belahan pantatnya ketika dia naik ke atas panggung pada perayaan tujuh belasan dulu. Ih....., malunya bukan kepalang! Kalaupun terlalu besar, nanti setiba di rumah aku minta saja kepada kakek supaya dikecilkan." Aku menghibur diriku sendiri.

Dipermak tanpa menggunting, celanaku menjadi sedikit nyaman dipakai. Kelak jika sudah sempit, jahitannya bisa dibuka lagi, kata kakek memberitahu alasannya dipermak sedemikian rupa. Kakek memang tukang jahit terbaik di kampung. Dari desa tetangga juga menjahitkan pakaiannya kepada kakek. Sudah barang tentu pakaian kami juga. Nenek cukup membelikan bahan kain di pasar, kakek akan menjadikannya celana atau baju untuk aku dan abangku, Jogi. Kami selalu dijahitkan pakaian yang sama. Serperti anak kembar saja kami diperlakukan dalam hal pakaian. Memang, tubuh kami juga hampir sama besarnya walau usia kami terpaut dua tahun. Betul kata nenek, aku memang bongsor. Karena sudah buru-buru untuk kupakai, kakek dan nenek sepakat untuk membeli celana jadi dari pasar saja. Oh, aku hampir lupa, nenek juga membeli celana dan baju buat abangku Jogi. Hanya saja......

"Aku tidak mau memakai celana selonggar ini, Nek! Dan aku juga gak mau celana ini dipermak. Tunggu saja sampai ukuran badanku sebesar ukuran celana ini." Kata abangku lantang tak tahu diri.

"Aku malu sama teman-teman, Nek. Nanti dikira orang lagi celana ini celana curian Ayah!" Suaranya gemetar menahan tangis di tenggorokannya.

Baru kali ini aku melihat wajah Jogi begitu sedih bercampur kesal. Memang, menyakitkan sekali tudingan-tudingan Rikson, anak juragan Salamun. Pernah digosipkan bahwa ibu kami binal dan ayah kami seorang copet di kota. Dua tahun lalu, Rikson juga pernah menebar fitnah bahwa sepatu baru kami adalah hasil curian ayah di kota. Padahal, sepatu itu nenek beli dengan hasil menjual kapuk yang sudah lima tahun dikumpulkan. Tampaknya nenek sangat memahami kenapa Jogi sesedih itu. Dipeluknya Jogi yang duduk di dekatnya. Diusapnya kepala yang sedang sesenggukan menahan tangis.

Kakek diam seribu bahasa. Sesekali kulihat kakek menjemput udara ke dadanya. Selalu saja kakek seperti itu bila pembicaraan kami mengenai ayah, anaknya semata wayang. Dari tatap matanya yang hampa, kutahu rindu sudah mengepungnya dari segala penjuru.

***

Kukuruyuk si Altong, ayam jantanku, menyambar telingaku. Sontak aku berhenti memutar ulang peristiwa tadi sore. Kulihat weker masih di posisi dua limabelas. Ah, kali ini si Altong ngawur. Mungkin dia ingin segera cepat-cepat bertandang ke kandang ayam tetangga. Seperti aku yang sudah tidak sabar mengenakan celana panjangku.

Kupejamkan mata dan berharap segera tidur lelap. Kututupi wajah dengan bantal yang seharusnya di bawah kepalaku. Baunya sarat getir dan pedih. Di sana, banyak kutumpahkan cerita rindu kepada ibu. Rindu yang bergulung-gulung kepada ibu kandung. Ingin sekali aku melihat rupa ibuku. Konon, aku mirip dengan ibuku, rambutnya lebat seperti rambutku, tatap matanya seperti tatap mataku, tidak seperti tatap mata Jogi yang dingin. Kepada ayah juga aku rindu. Ingin sekali aku ditemani ayah saat menerima rapor dan menerima hadiah juara kelasku.

Walau tak pintar, Jogi tidak cengeng seperti aku. Dia sering berkelahi dengan teman sebaya kami. Rikson pernah dihajarnya babak belur, bibirnya pecah, tangannya keseleo karena dipelintir abangku. Nenekku menawarkan diri untuk mengurut Rikson tapi orang tuanya tidak sudi. Kakek sangat geram mengetahui Jogi berkelahi lagi. Di depan teman sebaya kami, kakek menghukumnya dengan melibaskan ranting kopi di kakinya. Dia tidak menangis saat menerima hukuman itu. Juga tidak minta ampun agar kakek segera menghentikan pukulannya.

Aku pernah melihatnya menangis. Sekali. Malam itu, di dekat mesin jahit di sudut rumah. Dia mendongakkan wajahnya ke atas hingga bagian kepalanya menempel di tiang kayu rumah. Kulihat air bergulir dari matanya. Oh, air mata itu sangat langka. Tentu saja aku juga menitikkan air mata. Aku berpura-pura tidak melihat. Buru-buru kuseka air mataku dengan bantal. Aku berpura-pura tidur lelap. Tak lama Jogi mendekatiku dan membaringkan tubuhnya di dekatku, di sebelah kananku. Diselonjorkan kakinya masuk ke dalam sarung birunya. Aku membelakanginya. Seperti biasa kami selalu tidur saling membelakangi. Aku kaget sekali ketika dia memelukku dari belakang. Baru kali itu dia memperlakukan aku adiknya sedemikian rupa. Nyaman sekali. Tidurku pun pulas.

"Bangun, Mara, sudah pukul lima!" Jogi menggoyangkan tubuhku yang kutekuk karena dingin. Kulihat dia sudah rapi dengan seragam sekolah. Aku beringsut ke tepi ranjang yang berderit-derit menahan tubuhku. Kulihat Jogi pamit kepada nenek, dia hendak berangkat ke sekolah. Aku minta ijin sehari tidak masuk sekolah karena hari ini aku diajak kakek ke kota memenuhi undangan Pak Johan, teman kakek seperjuangan masa penjajahan dulu. Putra Pak Johan menikah dengan seorang gadis Belanda. Kakek menjadi protokol adat dan juga sebagai penerjemah.

***

"Amangboru, si Jogi di kantor polisi!" kata Herman dengan nafas tersengal-sengal mendekati kami yang baru tiba di kota kecamatan.

"Hah?"

"Di kantor polisi mana? Kenapa sampai masuk kantor polisi?"

"Di kantor polsek itu, Amangboru!" jawab Herman seraya menunjuk kantor polisi yang memang dekat dengan tempat kami turun dari bis tadi.

"Dia menikam Salamun dengan bayonet!" lanjut Herman sembari mengangkut tas kakek. Dibawanya langkah kami ke arah kantor polisi.

"Kenapa bisa sampai begitu?" tanya kakek lagi seraya menambah laju langkah menyejajari langkah Herman.

"Tanyakan langsung saja nanti kepada Jogi, Amangboru," sahut Herman gesit.

"Jogi menikamnya dengan bayonet yang sangat tajam. Itu bayonet Amangboru, bukan?" tambah Herman lagi. Dia selalu tertarik dengan peralatan atau senjata dari besi. Maklum, Herman seorang pandai besi.

Tak menjawab, kakek tergesa-gesa melangkah mendahului Herman masuk ke kantor polisi. Kakek menemui seorang anggota polisi yang bertugas. Polisi itu terlihat sangat hormat kepada kakek. Anggota polisi yang lain mengantarkan kami menemui Jogi yang sedang terduduk di balik jeruji. Jogi sangat terkejut melihat kedatangan kami. Mukanya tampak biru. Masih ada sisa darah kering di bibirnya yang pecah. Jogi pasti dihajar habis-habisan oleh keluarga korban. Aku menghambur mendekatinya. Kuraih wajahnya dari balik jeruji besi. Kuletakkan tanganku di kedua pipinya. Air mataku mengucur deras melihat derita di wajahnya. Kusingkap baju napi yang dipakai. Astaga, tubuhnya dipenuhi biru lebam. Ingin kupeluk abangku yang baik ini. Ingin sekali aku menggantikannya dipenjara. Ingin kugantikan dia merasakan sakit di tubuhnya. Kuremas jeruji besi seakan mencekik leher Salamun. Aku tahu betul alasan Jogi berbuat semua ini. Sudah lama dia ingin mengambil bayonet kakek dan membuat perhitungan kepada penebar fitnah keji itu.

Kakek tertunduk lesu. Disekanya air yang tersisa di sudut matanya. Tak lama, kakek menemui penjaga lagi. Mungkin mereka membicarakan sesuatu yang penting dan rahasia sehingga polisi itu menutupkan pintu. Dari Bang Jogi aku tahu bahwa kejadiannya dua hari yang lalu. Bersamaan pada hari kami berangkat ke kota. Jogi bolos dari sekolah hari itu dan segera mencari-cari bayonet kakek di rumah, saat nenek sudah di ladang memetik kopi. Setelah mendapatkan bayonet, Jogi menuju kedai kopi tempat Salamun biasanya main catur. Baju seragam sekolahnya sengaja tidak dimasukkan ke dalam celana. Seperti seorang pendekar yang selalu siaga membela diri, dia menyelipkan bayonet tajam itu di pinggangnya.

Seperti biasa, Salamun banyak cakap saat main catur. Kadang dia membuat lelucon dengan berbual. Penduduk desa pun tampak senang mendengar bualannya walau kerap juga menyakitkan. Kalau ada orang yang tersinggung dengan banyolannya, biasanya orang itu akan mendiamkannya saja. Takut masalah jadi panjang. Dan, konon Salamun berilmu tinggi juga kebal senjata.

Tapi jangan menyinggung perasaan abangku Jogi. Mungkin karena kekurangan bahan lelucon, Salamun menyebut lagi kalau ibu kami pernah ditidurinya. Keterlaluan, begitu dalam hati Jogi saat menancapkan bayonet di punggungnya. Lima bacokan mendarat di tubuh bagian belakang Salamun dan tujuh di bagian depan. Terjadi perkelahian yang hebat di kedai kopi. Salamun tidak mati. Mungkin karena bacokan Jogi tidak menyasar ke bagian vital atau karena tenaganya saat membacok tidak sekuat orang dewasa.

Palu diketuk, Bang Jogi dihukum penjara.

"Saat bebas nanti, kamu sudah cukup besar memakai celana panjang itu!" kata kakek bergurau sembari memeluk kami berdua. ***

Jakarta, Januari 2012

Kamis, 26 April 2012

Janji Lowry

Sore sangat teduh, angin pun bertiup tenang menyejukkan tebing dan ngarai. Di bawah sana, hamparan sawah menguning terlihat indah dari tebing ini. Dengan hati-hati sekali, aku menjejakkan kaki di batu pijakan yang sempit. Aku mulai memotret elang yang sedang menyuapi anaknya. Beberapa kali sudah kupotret momen indah itu. Mata tak kujauhkan dari kamera karena sekaligus kupakai sebagai teropong. Ada dua anaknya, belum sempurna ditumbuhi oleh bulu. Keduanya bercericit tak sabar menerima suapan dari sang induk. Tak begitu lama, mangsa itu sudah berpindah ke perut anak elang. Tiba-tiba sang induk mengepakkan sayapnya sampai-sampai ranting di sarang sebagian terjatuh. Suaranya melengking di udara. Ups, sang induk menyadari kehadiranku di sana dan terbang marah ke arahku. Kali ini, aku yang kaget. Praakkk...

Banyak orang berdiri di sekeliling ranjangku. Mereka membicarakan elang yang sangat sayang kepada anaknya. Tapi, tak satupun dari mereka yang senang dengan induk elang yang penuh kasih sayang. Aku sangat ingin menjadi anak elang itu. Dekat dengan ibu yang sangat penuh rasa sayang. Ibu...... sembilan bulan sepuluh hari aku di rahimmu, sembilan bulan duapuluh hari aku ibu susui. Hanya sesingkat itu aku disebut punya ibu. Mengapa harus meninggalkan aku hanya karena lelaki itu tak sehebat ayah?

Walau ditemani banyak orang, liang sunyiku tampak legam di dalam. Tidak seperti biasa, mereka berbicara seperti membaca puisi tentang langit yang tak pernah kumengerti. Selang berapa waktu, kudengar seorang dari mereka menyanyikan lagu yang kuhafal betul liriknya dan lagunya. Aku juga mendengar suara gunting berdenting. Perlahan, suara gunting berubah menjadi tangis yang sendu. Aku ingin sekali melihat siapa yang menangis di dekatku, tapi aku sangat lelah dan tertidur. Dalam mimpiku, tangis itu adalah milikmu, Lowry.

"Ayo, diminum dulu obatnya," katamu layaknya kepada anak kecil.

"Baik, bu dokter!" jawabku.

Kau tidak secerewet dulu lagi, Lowry. Hanya sedikit kau bicara kepadaku, itu pun hanya penjelasan obat yang harus kuminum. Sesekali kau tersenyum. Aku sangat suka dengan senyummu itu. Masih seperti dulu, rambutmu yang keriting spiral juga menawanku di setiap lekuknya. Aku masih ingin menatap wajahmu, tapi obat yang barusan kutelan mengantar aku ke tidur yang lelap. Masih kurasakan genggaman tanganmu yang hangat.

Ketika terjaga di tengah malam, rasa nyeri di kaki dan kepalaku membuatku meringis. Aku menghubungimu di handphone yang baru tadi siang nomornya kau berikan. Aku telpon supaya kamu membelikan aku sebungkus nasi Padang dengan lauk ayam bakar, telor bulat dan pergedel. Rasa laparku terasa sangat hebat. Akan segera datang, jawabmu di ujung telpon, karena rumah makan Padang duapuluh empat jam, ada di depan rumah sakit tempatku dirawat, juga tempatmu bekerja sebagai dokter. Kupandangi fotomu yang ada di handphoneku. Tadi siang kau peluk aku sembari menjepretnya dengan Blackberry-mu, kau kirim ke handphonku via bluetooth. Kau tersenyum, manis sekali.

Aku tersenyum mengingat kebetulan-kebetulan seperti ini hanya ada di film layar lebar yang pernah kita tonton dulu. Rasa sakit dan rasa lapar bisa aku lupakan, tapi pertemanan denganmu takkan mungkin kulupakan.

Kelas tiga sekolah dasar, walau usia kita terpaut dua tahun, aku satu kelas denganmu. Aku tinggal kelas di kelas tiga, dan kamu masuk sekolah dengan usia lebih muda dari umumnya usia masuk sekolah. Kau anak yang pintar dan selalu menjadi juara kelas. Aku sering bertandang main ke rumahmu sekalian mengerjakan pekerjaan sekolah. Kau juga sering datang bertandang ke rumahku. Kalau ayahmu pulang dari luar kota, selalu saja beliau membawakan untukku oleh-oleh pensil warna. Beliau tahu aku suka mengajari adikmu Ando menggambar. Kata ayahmu yang pegawai bank pemerintah itu, aku sangat berbakat menjadi pelukis. Aku senang bila ayahmu yang memuji.

Sering juga kamu kuajak ke ladang nenekku mengambil jambu biji, mangga, langsat dan rambutan bila musimnya. Kau sangat suka makan tebu. Manja sekali kau bila memintaku untuk mengupas kulit tebu dan memotong-motongnya. Sering, tebu yang kukupas lebih banyak untukmu daripada untukku sendiri. Belum lagi jambu biji yang kupetik, semuanya kau bawa pulang ke rumahmu sebagai hadiah buat adikmu Ando. Kau senang sekali hingga saat pulang, kau berlari kecil sambil menari-nari dengan sekantong buah di tanganmu. Kadang-kadang kau berputar layaknya penari balet. Rambut keritingmu juga menari-nari di hadapanku. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah kau menandai jalan dengan ampas tebu dari mulutmu.

Ketika sekolah pulang lebih awal, bersama teman sekelas, kita ke ladang nenekku lagi. Entah bagaimana kau menceritakan kepada teman-teman tentang ladang nenek yang banyak buah-buahan itu hingga mereka juga menuntut untuk ikut berpesta. Aku senang melihat semua teman kita lahap menyantap buah yang ada. Jambu air sedang musimnya. Teman-teman sibuk memunguti buah jambu air yang kupetik dan memasukkannya ke kantong plastik untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.

Kau tidak mau buah yang terjatuh ke tanah, walaupun itu baru dipetik. Kau memang sangat manja padaku. Apalagi di hadapan teman-teman kita, kukira kau sedikit berlebihan. Akhirnya aku memanjat pohon jambu itu dengan membawa kantong plastik. Penuh sekantong kubawa turun. Karena leher dan mataku digigit semut rangrang, aku melepas pelukan tanganku dari pohon dan akupun terjatuh. Tidak tinggi memang tempatku jatuh, tapi cukup membuatku tak bisa bangkit berjalan. Kakiku keseleo.

Kau menangis memegangi kakiku yang keseleo. Teman-teman memanggil nenek ke gubuk yang ada di ladang tak jauh dari pohon jambu. Nenek memapahku ke gubuk untuk diurut. Kau pun ikut-ikutan memapahku di sisi yang lain. Tertatih aku berjalan sambil merangkul nenek menuju gubuk. Teman-teman saling berbisik mengikuti dari belakang, tapi tetap memegang jatah jambu masing-masing.

Saat diurut, walau terasa sakit sekali, aku tidak menangis. Kau masih saja menangis sesenggukan. Kau bantu nenek mengurut kakiku, tanganku juga kau pijit walau aku tak mengeluhkannya sama sekali. Saat itulah pertama kalinya kau bercita-cita menjadi dokter. Biar bisa merawatku, katamu masih terisak. Kau katakan itu kepada nenek dan teman-teman jadi saksinya.

Nenekku hanya tertawa melihat keluguanmu yang lucu. Nenek menyeka air matamu. Nenek menghiburmu dengan mengambil tebu dan mengupas serta memotong-motongnya. Kucoba berdiri tanpa menunnjukkan rasa sakit bermaksud supaya kau mau menerima tebu kesukaanmu dari nenek. Kita pun tertawa bersama.

"Kok tertawa sendiri, Yud?" katamu menggunting nostalgia yang mengikatku di masa silam.

"Eh, nasi Padang datang. Aku sangat lapar, nih," kataku bergegas duduk.

"Itu pertanda kau sudah pulih, Yud."

"Kusuapin, ya," katamu sambil membuka bungkusan nasi.

"Eits, aku gak usah disuapin, Lowry," kataku menolak karena tak suka bermanja.

"Biar seperti foto elang yang kamu potret itu!" katamu sembari menunjuk foto-foto yang ada di atas meja. Kau mengambil foto-foto itu dan memberikannya padaku.

"Dino, temanmu yang menitipkannya tadi siang saat kau sedang tidur." katamu menyebut temanku mendaki. Dia temanku kuliah pascasarjana yang juga hobby mendaki dan photografi.

"Kameraku bagaimana, Lowry?" tanyaku.

"Ada di tempat kostmu. Tidak rusak sama sekali!" sahutmu. Aku masih membolak-balik semua foto. Ada 168 lembar foto dan semua aku suka. Mulai dari anggrek hutan, ular sanca yang sedang mengganti kulitnya hingga foto elang yang menyuapi anaknya.

Dan benar seperti anak elang itu, aku mengangakan mulut menyambut suapan demi suapan. Aku lahap sekali dan tak mengira sebungkus nasi padang sudah ludes diringkus rasa laparku. Kau tampak senang dan segera memulai bernostalgia tentang masa-masa kita SMP.

Kau terpingkal-pingkal saat kuulang cerita yang sama-sama kita alami. Risma, teman kita terjatuh dari panggung saat mengikuti festival folksong. Panggung memang terlalu sempit bagi group kita yang beranggotakan enam orang. Aku sebagai pemetik gitar, alat musik pengiring, berada paling pinggir. Kau di sebelah kiriku, Rikson, Chika, Risma dan Marni paling ujung kanan. Marni yang bersuara sumbang itu ngotot harus ikut tampil. Kita sepakat dengan syarat, mikrofon harus di jauhkan dari mulutnya. Prakteknya saat di panggung tidaklah demikian. Dia merebut mikrofon dari tangan Risma dan menguasaiya.

Karena sebal dengan suara sumbangnya yang dominan, aku sentuh pinggulmu dengan gitar untuk memberi isyarat. Kau pun mengerti maksudku tentang suara sumbang Marni. Kau mengestafetkan pesan ke Rikson hingga ke Risma dengan mencolek atau menyenggol pinggul. Risma pun menyenggol pinggul Marni beberapa kali tapi yang disenggol tidak juga mengerti. Masih saja mikrofon didekatkan ke mulutnya. Suaranya pun makin dikeraskan seolah berteriak histeris, padahal lagu saat itu berirama pop, bukan irama rock.

Jengkel bercampur putus asa, Risma menyenggolkan pinggulnya ke pinggul Marni dengan sekuat tenaga. Marni pun hampir jatuh dan its.. eits..., akhirnya jatuh juga. Dia tak mau jatuh sendirian, diraihnya tangan Risma tapi tak dapat. Yang dapat diraih hanya ujung roknya Risma, dan mereka pun terjungkal bersama. Tubuh Risma dengan posisi nungging menindih tubuh Marni yang gemuk. Pakaian dalam Risma tersingkap dan Rikson pun tertawa geli. Lama dia tertawa melihat pemandangan itu tanpa bergegas untuk menolong. Sebulan dari kejadian itu, Rikson dan Risma makin akrab. Berpacaran, dan tujuh tahun berikutnya mereka menikah.

Namanya jodoh bisa-bisa saja, katamu tertawa menutup nostalgia kita di subuh yang hangat. Subuh pun berlalu penuh hangat. Kau tertidur pulas di sofa kamar VIP tempatku dirawat. Kupejamkan mata melanjutkan sendiri kisah yang terpenggal. Kisah kita, Lowry.

Kita berpisah saat SMA. Kau sekolah SMA favorit di Medan, tempat ayahmu pindah tugas. Aku sekolah di SMA Sumbul. Hampir setiap minggu kita bertukar kabar melalui surat. Setiap suratmu selalu kubalas dengan segera. Pak Pos pengantar surat sudah sangat kenal dengan tulisanmu yang khas. Sering amplop suratmu bertuliskan: Terima kasih, Pak Pos yang baik. Isi surat kita pun hanya berkutat di seputar sekolah.

Sebenarnya aku mulai muak dengan pembicaraan kita di surat. Pernah aku hampir tidak membalas suratmu karena menanyakan nilai-nilai raporku. Nilai matematikaku hanya nilai lima. Aku tahu, kamu pasti akan menertawakan nilai itu. Terlintas di pikiranku untuk membohongimu dan menyebut nilai matematikaku sembilan di rapor. Aku tak tega berbohong kepadamu. Akhirnya, aku menuliskan semua nilai-nilai raporku di surat.

Benar dugaanku, kau menertawai nilaiku tapi juga panjang lebar menasihatiku untuk belajar lebih giat di suratmu berikut. Kubalas suratmu dengan seolah-olah akan mengikuti anjuranmu, padahal sama sekali aku tak berniat melakukannya. Yang penting kau senang dan tidak menanyakan itu lagi. Berikutnya, kau kirimkan aku buku-buku yang kau pelajari di sekolahmu dan buku soal dari tempat kursusmu. Semula aku ingin muntah mempelajari soal-soal itu. Di buku-buku itu, banyak kau tuliskan puisi indah. Namaku juga kau tulis di beberapa halaman. Aku suka tulisan tanganmu. Ada gambar hati yang terpanah di halaman paling belakang. Di dalam gambar hati itu kau tulis namamu dan namaku. Apa gerangan yang kau pikirkan saat menuliskan nama kita. Apakah kau juga merasakan seperti yang kurasakan?

Seperti tersudut, aku dikepung rindu dari segala penjuru. Kutulis surat mendahului suratmu padaku. Isinya tidak seperti yang lalu-lalu. Kali ini kutulis penuh rindu yang menggebu. Bila bernasib baik, kau juga rindu padaku. Di dalam surat kukatakan aku sedang sangat ingin memeluk seorang ibu. Sering aku terbangun di tengah malam dan keluar rumah hanya untuk memandang bulan. Sejak kecil, bila menayakan ibuku ada di mana, nenek selalu menjawabnya di bulan. Tak cukup rasanya hanya kuutarakan rasa sepi di dalam surat. Satu bulan baru kau membalas suratku. Tak ada kata rindu dalam suratmu. Dingin. Tapi, aku mendapatkan bekas air di suratmu. Aku sangat yakin, itu bekas air matamu yang jatuh karena kau juga rindu padaku. Semoga.

Kubalas suratmu, yang menurutku ditetesi air matamu, dengan kalimat singkat: Hari libur, Kamis minggu depan, aku akan mendatangimu karena rindu.

Tanpa malu, kau memelukku di halaman rumahmu di bawah bougenville yang berbunga lebat. Pelukanmu sangat erat tapi hanya sedikit matamu berair. Orangtuamu, adik-adikmu dan pembantu sangat ramah padaku. Kau ajak aku ke kamar Ando, adikmu yang sering kubuatkan layangan dan kuajari menggambar. Adikmu tak keberatan ketika kau minta untuk berbagi kamar denganku. Ando mengambil gitarnya dan menyodorkannya padaku berharap aku mau mengajarinya juga. Dia sedang getol-getolnya belajar

memetik gitar. Tak lama, kau tarik tanganku dan beranjak ke luar rumah. Kita bernyanyi di bawah bougenville. Aku melihat ke dalam bening bola matamu. Tak kutemukan apa-apa di sana. Atau aku yang kurang pintar menyelaminya.

Kau mengajakku ke tempatmu kursus, ke tempat teman sebangkumu Lily, ke perpustakaan umum. Oh ya, aku mulai gemar membaca sejak kau mengirimiku buku bekas kursusmu. Dan aku banyak menulis puisi. Untukumu dan tentangmu semua. Sepulang dari perpustakaan umum, kita ke pasar buku bekas. Dengan uang jajanmu, kau belikan aku banyak buku. Di sana juga kita menyempatkan diri untuk berfoto Polaroid, langsung jadi. Mat Kodak tampak senang dengan keceriaanmu. Enam posemu semua menarik. Selain saat memelukku, pose saat aku menggendongmu di punggung juga aku suka. Kau langsung meloncat di punggungku ketika itu dan menyuruh Mat Kodak memotretnya. Kau berikan tiga lembar foto itu untukku dan tiga untukmu.

Saat tiba waktu pulang, hatiku bagai diiris-iris sembilu. Kau mengantarku ke terminal bis bersama Ando. Aku pulang dengan balutan galau yang tebal. Sepanjang perjalanan pulang aku gelisah mengingat peristiwa malam itu. Aku memberanikan diri menanyakan masalah hubungan kita. Aku katakan lagi padamu, bila ditanya teman tentang pacar, aku mengatakan sudah punya dan kau kusebut pacarku, Lowry. Kau hanya tertawa terbahak. Aku pura-pura melucu dengan apa yang kukatakan karena kau menganggapnya demikian. Kau anggap aku sedang melawak padahal aku berharap kau mengiyakan status hubungan kita: berpacaran.

Mungkin karena terlalu sibuk dengan belajar, satu semester terakhir kelas tiga SMA, kau hanya mengirmku sepucuk surat. Hanya sekali. Kau memberitahukan bahwa kau masuk perguruan tinggi ternama di Jakarta dengan jalur khusus. Fakultas Kedokteran. Itu suratmu yang paling terakhir di masa kita SMA. Pernah kucoba menulis surat ke alamat rumahmu di Medan dulu, surat yang kukirim kembali kepadaku karena kalian sudah pindah entah kemana.

Aku mendatangi alamatmu dulu dengan harapan mendapatkan iformasi dari tetangga kemana kalian pindah. Hasilnya nihil. Seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga, aku tertunduk lesu. Kupetik setangkai bunga bougenville warna pink yang pernah mendengar lagu kita. Bukit berbunga.

Sepuluh tahun kemudian, entah bagaimana kau menemukan sekolah tempatku mengajar di Medan, kau mengirimkan suratmu dengan beberapa lembar foto. Setelah membaca suratmu, aku tak bergairah lagi untuk mencari tahu alamatmu dan suratmu pun tak tuntas kubaca. Di balik foto kau tulis nama lelaki di sebelahmu bernama Benny, calon suamimu. Tanganku gemetar. Laksana ditimpa beban berat, aku sesak. Sesak sekali tap tak ingin rasanya aku menarik nafas untuk paru-paruku. Aku meratapi diri dengan diam yang hakiki. Sejak itu, kucari kesenangan lain untuk mengubur catatan-catatanku tentangmu. Bersama teman-teman kuliah pasca sarjana, aku mendaki, memanjat tebing dan photografi.

Sebelum pulang dari rumah sakit, kau mengemasi barang-barangku dan akan mengantarku ke tempat kostku setelah mampir sebentar di rumah orangtuamu. Namanya kebetulan selalu saja indah buatku, ternyata kita bekerja di satu kota yang sama. Kau terduduk di sofa dengan wajah sunyi. Kulihat matamu berkaca-kaca. Kau tertunduk menyembunyikan sejuta luka dan sesal. Kedekati kau dan duduk di sebelahmu. Kubiarkan bahuku tempatmu menumpahkan air mata. Hatiku pilu mendengar semua penuturanmu. Katamu, sejak dulu kau cinta sama aku dan mengaku-ngaku kepada temanmu perempuan kalau aku adalah pacarmu. Menurut pengakuanmu, kau mencintaiku sejak terjatuh dari pohon jambu. Kelas tiga sekolah dasar? Aku tak percaya dan tawaku hampir meledak-ledak.

"Tapi bagaimana dengan Benny calon suamimu?" tanyaku penuh selidik.

"Benny mati terbunuh!" jawabmu tanpa rasa sedih.

"Ando yang menembaknya dengan pistol yang diberikan Luna, istri Benny." lanjutmu lagi.

"Hah? Ando yang membunuh?" Aku sangat heran lelaki bernama Ando, maaf kalau aku menyebutnya kewanita-wanitaan, mampu membunuh.

"Iya, Ando yang membunuh karena tak bisa menerima kakaknya dibohongi oleh lelaki yang sudah beristri tapi mengaku lajang. Sekarang Ando masih di penjara."

Aku tak tahu harus berduka atau bersuka cita mendengar kabar ini. "Sepulang dari sini, kita langsung besuk Ando saja!" kataku lalu menciummu. Kau bergeming tak menolak atau marah. Kuseka air matamu, sama seperti nenek menyeka air matamu dulu.

Sepanjang perjalanan menuju penjara, tempat Ando ditahan, aku memandangimu yang anggun di belakang setir. Di lekuk keritingmu, masih tertulis sebuah janji: Kau akan merawatku. Bukan sekedar merawat, kau sudah menjadi obat bagiku, Lowry. Jakarta, September 2011