Artikel di sebuah majalah bekas yang kubaca
mengatakan bahwa pria cenderung menjadi gemuk setelah menikah.
Alasannya, karena pola hidup si pria menjadi lebih baik dan teratur. Tak
kalah pentingnya faktor psikis, si pria merasa nyaman dan tenteram.
"Mungkin, hanya akulah pria di dunia ini yang menjadi kurus setelah menikah!" gumamku dalam hati.
Dengan sengit kulempar majalah bekas ke atas meja. Praaak!!! Tak cukup
hanya itu, kutendang lagi kaki meja di hadapanku. Tentu tak sekuat
tenaga. Kusetel televisi dengan volume keras. Aku membuat suara gaduh
supaya wanita itu terusik dari tidurnya. Lalu terbangun dan segera
membuatkanku secangkir kopi serta menemaniku menonton pertandingan sepak
bola. Ah, keterlaluan bila aku mengharapkan hal-hal seromantis itu
darinya. Dibukakan pintu sepulang kerja saja aku tak pernah lagi.
Bukankah kunci duplikat rumah kita juga ada padamu, katanya tanpa merasa
berdosa.
Menyebalkan, komentator bola itu masih saja asyik dengan ulasannya
tentang kedua tim yang berlaga. Kubiarkan televisi menontonku sedang
membuatkan secangkir kopi. Sendok pun kubenturkan keras-keras ke cangkir
saat menyeduh kopi. Bahkan dengan sengaja pula kujatuhkan ke lantai
sebuah panci aluminium beserta tutupnya. Praaaaaang!
Kuintip wanita itu di kamar. Alamak, dia tak mendengarnya? Masih
meringkuk seperti tadi. Kudekati untuk memastikan. Benar, dia pulas
dengan dengkuran level tiga. Kalau dengkurannya sudah di level lima, aku
harus menutup pintu kamar. Aku khawatir dengkuran level limanya
mengganggu konsentrasi para pemain bola yang sedang bertanding di
televisi. Tanpa remote control pun, channel televisi bisa berpindah
karena dengkurannya.
Kuseruput kopiku dan kurasakan hangatnya melalui tenggorokan.
Kuselonjorkan kaki di atas meja dan bersiap untuk suguhan pertandingan.
Seperti biasa, beberapa iklan dulu. Entah pertimbangan apa produk rokok
menjadi sponsor olah raga di negeri ini. Bedebah! Komentatornya muncul
lagi hanya untuk mengucapkan salam berpisah. Ternyata pertandingan yang
kutunggu-tunggu sudah usai saat tadi aku menyetel televisi. Dalam
keadaan seperti ini, aku harus menemukan seseorang untuk disalahkan.
Mataku segera menjelajah seluruh sudut rumah dan mencari-cari yang bisa
kujadikan sebagai kambing hitam kejadian bodoh ini. Tentu saja mataku
yang sakti dapat menembus gordyn tebal di pintu kamar dan menemukan
sesosok tubuh di sana.
Aku duduk di tepi ranjang. Wanita itu masih pulas dalam tidurnya.
Lehernya mendongak. Posisi yang pas sekali untuk mencekiknya, pikirku.
Jantungku makin cepat memompakan darah ke seluruh tubuhku. Dadaku
berdebar-debar ketika kedua telapak tanganku hampir menyentuh lehernya.
Lama tanganku bergetar di atas lehernya. Kudengar suara cicak di ruang
tamu mengejekku yang tak bernyali membalaskan dendam.
Aku perlu mengumpulkan keberanian untuk melakukannya, pikirku.
Kusambar kunci rumah di atas televisi. Aku keluar rumah menuju tempat
sampah. Disana kulihat tujuh pot kaktusku meradang tak berdaya. Kemarin,
dengan mata kepalaku sendiri, kulihat wanita itu menendangnya dari
teras. Enggak ada indahnya kaktus ini, lebih baik digantikan dengan
anggrek atau bunga lainnya, katanya. Anehnya, aku tak mencegah wanita
itu melakukan aksinya. Bahkan aku terkesima dengan akurasi tendangannya.
Bagaimana dia bisa menendang pot bungaku seakurat tendangan Bekham
memberi assist kepada striker. Tujuh tendangannya sukses memasukkan pot
bungaku ke dalam tong sampah.
Kulihat penderitaan kaktus-kaktusku. Aku terenyuh. Mereka hanya menaruh
harapan padaku. Aku pun berbisik-bisik kepada satu per satu
kaktus-kaktusku untuk tetap tabah akan cobaan yang menimpa mereka. Dan,
aku akan menuntut balas atas kesewenang-wenangan ini.
Kukepalkan tinju. Aku masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu.
Pasti kaktusku senang melihat kegeramanku. Atau, mungkin mereka sedang
berbisik satu sama lain soal kepahlawanaku. Dengan kasar aku sibak
gordyn pintu kamar. Mataku melotot penuh geram. Nafasku tersengal hingga
cuping hidungku mekar. Tiba-tiba aku disambut bunyi peluit aneh. Puih….
seisi kamar disesaki aroma tak sedap. Aku menutup hidung dan mundur
teratur. Mungkin wanita ini terlalu banyak memakan kubis tadi siang.
Dengan masih menutup hidung, aku duduk di sofa sambil mengipas-ngipaskan
majalah di depan wajah. Soal makan memang wanita ini jagonya. Selera
makannyalah yang membuatku diterima bekerja sebagai koki di sebuah
restoran. Wanita ini beserta gengnya yang berjumlah belasan orang
menjadi pengunjung tetap di restoran tempatku magang. Wanita ini tampak
akrab dengan pemilik restoran. Pernah aku melihat mereka berbincang
seraya sesekali melirik ke arahku. Pemilik restoran hanya mengatakan
bahwa aku punya hoki di restoran ini.
"Namaku Sere, nama kamu Damara ‘kan?" katanya saat pertama kali kami berkenalan.
"Iya, betul, namaku Damara!" sahutku.
"Kare Kepiting Mangga Mudamu enak. Aku dan teman-temanku suka!" pujinya.
"Terimakasih sudah memujiku," ucapku sambil menunduk. Tentu dengan senyum manis yang aku bisa.
Dia juga senyum. Manis sekali. Giginya rapi dan putih. Layak menjadi bintang iklan pasta gigi.
Setelah berkenalan tiga bulan lebih, kami semakin akrab. Kami semakin
sering bertemu di luar restoran. Karena sudah mengenal sifatnya yang
blak-blakan, aku tak kaget ketika dia mengatakan keinginannya untuk
meningkatkan hubungan kami ke taraf pacaran.
Tetapi ketika hubungan kami meningkat ke taraf yang lebih serius,
bertunangan, aku menjadi sulit tidur. Suhunan, temanku sepemondokan,
juga punya andil besar atas keragu-raguanku ini. Betapa tidak?
Suhunanlah yang meletakkan masalah ini di dalam otakku. Sebelumnya,
hanya berupa spora beterbangan di atas kepala.
"Aku enggak yakin kalau Sere itu benar-benar perempuan, Damara!" kata Suhunan suatu ketika di lapangan bulutangkis.
"Maksudmu?" tanyaku sedatar mungkin. Semoga saja Suhunan tidak
mengetahui bahwa aku juga mencurigai hal yang sama. Soalnya, aku pernah
dibantingnya hanya dengan sebelah tangan. Tenaganya sangat kuat layaknya
seorang pria perkasa.
"Kamu tak lihat berita di koran-koran itu? Berita siang di televisi
pernah menyiarkan bahwa seorang pengantin perempuan itu ternyata seorang
laki-laki. Nah, kamu mau nasibmu seperti yang di koran-koran atau di
tivi itu?" tanya Suhunan dengan nada serius.
Aku termangu.
"Mumpung belum terlanjur, pastikan dulu bahwa dia itu benar-benar perempuan,"
"Caranya?" tanyaku sangat polos dan berharap mendapatkan saran yang jitu.
Mendengar pertanyaanku, Suhunan tertawa sampai mengeluarkan air mata.
Bahunya berguncang-guncang. Perutnya pun naik turun memompa udara ke
tenggorokannya untuk menghasilkan tawa yang keras. Banyak orang menoleh
ke arah kami karena suara tawanya.
Beberapa saat kemudian, Suhunan menarik tanganku dan bergegas masuk ke
kantin. Kami duduk di meja paling pojok. Otakku merekam semua saran dari
sobatku ini tanpa terlewat sedikit pun. Ternyata begitu mudahnya
memastikan jenis kelamin Sere. Hmm, Suhunan memang seorang laki-laki
berpengalaman dan cerdas, pujiku dalam hati. Andai saja aku tak punya
teman cerdas seperti Suhunan, tentulah aku akan habis dihajar oleh Sere.
Bagaimana tidak? Aku hanya tahu satu cara untuk mengetahui jenis
kelamin seseorang yang kita ragukan, yakni: melihatnya dengan mata
kepala sendiri.
Mengikuti saran sobatku, maka kumulai ikhtiar memastikan jenis kelamin
Sere. Pikiranku sudah terfokus ke sana. Maaf, maksudku, aku harus
sesegera mungkin memastikan jenis kelaminnya sebelum menyetujui
pertunangan kami.
Sebelum dipersilakan masuk ke gedung theater XXI, kami duduk di cafetaria dan kulemparkan sebuah teka-teki padanya.
"Coba tebak! Bersayap dan penghisap darah, apa coba?"
"Nyamuk!" jawabnya sambil menyentil kupingku seolah itu adalah taruhannya.
"Salah!" sahutku.
"Apa, dong?"
"Pembalut!" jawabku sambil menyentil daun telinganya tapi tak kena karena dia sudah siap untuk mengelak.
Sere tertawa.
"Ngomong-ngomong, pembalut merek apa yang paling nyaman kamu pakai?"
"Nggak ada yang benar-benar nyaman," jawabnya.
"Maksudmu tak satu pun dari merek pembalut itu yang benar-bear nyaman dipakai?"
Dia mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik bahwa dia tak suka
menggunakan pembalut. Mendengar pengakuannya, mulutku hanya bisa
menganga tanpa bicara. Tak salah lagi, dia seorang laki-laki. Ampun,
Gusti! Tubuhku berkeringat di dalam gedung XXI yang dingin. Film yang
diputar di layar lebar pun hanyalah gambar-gambar bergerak yang tak
kumengerti. Suara Dolby Stereonya
pun hampir tak kudengar. Yang ada di pikiranku hanya sebuah kejadian
memalukan. Aku bertunangan dengan seseorang yang berkelamin sama
denganku, laki-laki.
Setahun bertunangan dengan Sere, berarti setahun pula aku tersiksa oleh
keragu-raguanku sendiri. Bahwa aku mampu bertahan sejauh ini, mungkin
hanya karena besarnya keinginan untuk memastikan keperempuanannya.
Tujuh tahun aku sudah menikahinya. Dia belum melahirkan seorang anak pun
untukku. Banyak upaya yang sudah kami lakukan bersama. Konsultasi ke
beberapa dokter ahli bahkan ke pengobatan alternatif. Dokter Lismawan
menyarankan supaya Sere benar-benar istirahat, jangan terlalu letih.
Sere mengikuti saran dokter itu dan meninggalkan pekerjaannya sebagai
reporter televisi swasta. Hampir enam bulan dia seperti Ratu tidur.
Setelah meminum obat, dia akan tidur pulas dengan berbagai suara
dengkuran. Dari catatanku, ada sebelas jenis suara dengkurannya. Kali
ini dengkuran jenis kesembilan. Tak salah lagi, ini dengkurannya yang
paling kusuka. Seperti lagu nina bobo di telingaku.
Suara dengkuran itu pun semakin menghilang di pendengaranku. Samar-samar
kulihat sesosok wanita menghampiriku. Wajahnya mirip nenek lampir.
Bahkan lebih seram lagi. Betapa tidak, semua tubuhnya ditumbuhi duri
yang sangat tajam. Persis seperti duri kaktus. Dari warnanya yang hitam
berbelang kuning, pastilah duri itu sangat beracun. Aku melihat dengan
jelas duri-duri di telapak tangannya. Dia mencekikku sekuat tenaga.
Duri-duri beracun itu menancap di leherku. Aku berteriak dan
meronta-ronta berupaya melepaskan diri. Kakiku menjuntai ke bawah.
Meraba-raba pijakan untuk meloncat ke dalam jurang. Daripada menjadi
budak bagi nenek kaktus, lebih baik aku melompat ke jurang saja,
pikirku. Dan, aku pun melompat. Lebih tepatnya, aku menjatuhkan diri.
Gubrakkkkk!!!
"Mimpi buruk lagi ya, Bang?" Tanya seseorang yang baru keluar dari kamar mandi.
Wanita itu tertawa terpingkal-pingkal seperti sedang menonton acara lawak di sebuah televisi swasta.
Aku mendapati tubuhku tergeletak di lantai sejajar dengan sofa.
Buru-buru aku bangkit dan duduk di sofa. Tapi, aku masih linglung ketika
memandangi tubuh istriku berbalut handuk. Kusentuh tubuhnya dengan
lembut. Tidak berduri sama sekali. ***
Kamis, 06 September 2012
Petri Terakhir
Tengah hari, langit tampak bermuram di
sekeliling pandang. Terdengar gemuruh seperti suara benturan batu besar
yang ditubrukkan. Percikan listrik pun berlesatan di langit. Setiap
bentakan menggelegar, menyeruak pula kilau panjang yang tajam seperti
hendak membelah bumi. Disebatnya nyawa sebatang pohon kelapa persis di
hadapan Nini Berneh. Lagi.
Wanita tua bungkuk itu
tampak tidak mengebut langkah ke arah gubuk di pinggir ladang.
Dibiarkannya angin merontokkan dan menerbangkan dedaunan. Tak jarang
pula, dahan-dahan dipisahkan dengan batangnya. Buah langit berguguran
seperti paku menghujami tubuhnya.
Dengan tertatih-tatih, Nini Berneh tiba di gubuknya yang compang-camping tapi masih cukup layak sebagai tempat berteduh. Beratap ilalang dan ijuk dengan dinding dari tepas anyaman bambu.
Dibakarnya sabut kelapa dengan mancis berminyak tanah yang selalu di simpan di gubuk. Dibuatnya api untuk meringkus dingin yang sembunyi di tubuhnya. Dagunya gemetar menggigil. Bibirnya pun membiru. Dibukanya baju dan korsetnya untuk dikeringkan. Kedua buah dadanya yang keriput menggantung memelas. Tak ada lemak di sana. Dijemputnya hangat api dengan mendekatkan telapak tangannya ke perapian, dibagikan ke leher dan wajahnya.
Di luar, hujan tampak belum mengurangi derasnya. Daun talas dekat gubuk pun ditabuh riuh oleh guguran langit.
Disodoknya bara api dengan kayu bakar untuk menambah nyala. Sesekali ditiupnya dengan bantuan sepotong bambu. Dijauhkannya wajah dari asap. Dirabanya baju dan korsetnya yang dijemur dekat perapian ternyata belum kering betul. Di buangnya pandangan ke tepas dinding anyaman bambu. Terselip di sana sebilah belati milik almarhum suaminya. Melihat belati itu, Nini Berneh seperti menghidupkan kembali suaminya.
"Orang baik tidak harus berumur panjang!" gumam wanita tua dalam hati.
Dijaganya api supaya tetap menyala dengan baik. Seperti dia menjaga catatan-catatan masa lalunya.
Kembali dia membongkar-bongkar catatan masa silam. Berharap menemukan selembar bahagia yang terlupa di tumpukan derita dan kepedihan. Ada selembar catatan yang paling sering dibacanya hingga lembaran itu tampak lebih usang dari lembaran lainnya.
Merdang adalah seorang lelaki pekerja keras penuh cinta dan tanggung jawab. Setidaknya, begitu menurut Nini Berneh yang sebenarnya bernama Tambaten tentang suaminya. Sehari-hari dia bekerja sebagai guru sekolah dasar. Masih honorer ketika itu. Saban hari, sepulang mengajar, dia menyadap pohon aren untuk dijadikan gula merah.
Setelah makan siang sepulang mengajar, Merdang pamit kepada istrinya Tambaten yang sedang menyususi Pudun, anak mereka yang baru berusia satu setengah tahun. Diterabasnya gerimis, bergegas ke ladang dengan membawa perlengkapannya menyadap. Dua buah jerigen 20 literan digantung di ujung bambu pemikul. Tentu tidak lupa belati cap garpu di pinggangnya. Belati cap garpu lebih baik karena dibuat dari baja terbaik, kata Merdang membanggakan belatinya.
Dipikulnya jerigen menyusuri jalan setapak. Di mulutnya terselip tembakau yang dilinting dengan daun nipah. Kadang dilemparkannya asap tembakau ke udara. Terbuar baunya di sepanjang jalan yang dilaluinya.
Merdang memanjat pohon aren dengan tangga sebatang bambu yang diikatkan ke pohonnya. Kiran, potongan bambu besar penampung nira aren, yang telah berisi diturunkan dan digantikannya dengan yang kosong untuk menampung nira aren yang manis.
Hari masih sore ketika ia tiba di rumah dengan hasil sadapannya. Ia tuang nira aren ke dalam kuali yang sudah menganga di atas tungku. Tentunya dituang sambil menyaring. Beberapa tawon dan serangga lainnya terjebak di saringan. Tambaten, istrinya, siap menjadikannya gula merah
"Aduh, belati dan tembakauku ketinggalan di pohon aren dekat kampung, Bu!" tiba-tiba Merdang teringat karena ingin menghisap tembakaunya. "Sebentar saya jemput ya, Bu!" lanjutnya dan buru-buru keluar dari pintu dapur tempat istrinya memasak gula.
Tambaten ingin mencegahnya tapi sudah terlambat karena suaminya keburu melompat keluar dari pintu dapur. Tambaten hanya berdiri di pintu dapur, melihat punggung suaminya yang sedang berlari-lari. Tambaten melihat langit kelabu ditingkahi gemuruh guntur. Pudun, anak mereka yang dilahirkannya setelah sepuluh tahun menikah, terdengar menangis di rebahannya. Setelah sebentar mengaduk nira aren, diambilnya anaknya untuk digendong. Disusuinya Pudun dan dibuai, tapi tak kunjung diam dari tangisnya. Mungkin digigit serangga, pikirnya lalu membuka baju anaknya dan memeriksa. Tidak ada apa-apa. Dibuainya buah hatinya dengan menyanyikan lagu sembari mengaduk-aduk larutan nira yang mulai berubah warna.
Hujan di luar deras seperti air tumpah. Atap dapur yang bocor ditampungnya dengan ember dan wadah lainnya. Irama tetesan hujan di wadah penampung air bocor menyita perhatian anaknya dan akhirnya tertidur.
Hari sudah gelap ketika hujan berhenti menggagahi bumi. Merdang belum juga pulang. Mungkin, setelah mengambil belati dan tembakaunya, dia kembali lagi ke ladang untuk memetik terong yang tumbuh di sekeliling gubuk, pikir Tambaten menampik pikiran yang bukan-bukan. Dia sangat suka dengan gulai terong yang dicampur dengan daun singkong serta diberi serai yang digebuk, katanya lagi menekan galaunya.
Kampung sangat gelap. Rumah-rumah penduduk hanya diterangi lampu teplok. Suara jangkrik mengikuti langkah Tambaten yang tergesa-gesa di kegelapan. Pudun tertidur pulas dalam gendongannya. Dengan nafas masih tersengal, diketuknya pintu rumah Arlem, kepala kampung.
"Siapa?" terdengar suara dari dalam rumah berdinding papan itu.
"Saya, Pak. Tambaten, sitrinya Merdang," jawabnya. Tak lama, pintu berdenyit dibuka oleh istri kepala kampung.
"Oh, kamu. Ayuh, silakan masuk."
"Ada apa, datang malam-malam begini, Nak?" kepala kampung keluar dari kamar sembari membetulkan sarung di pinggangnya.
"Merdang belum pulang dari ladang. Tadi ia menjemput belatinya yang ketinggalan, Pak." jelas Tambaten dengan suara gemetar. Pak Arlem, meminta istrinya untuk memberikan segelas air putih kepada Tambaten.
Pak Arlem keluar memukul kentongan untuk memanggil warga. Mendengar suara kentongan, tangis Tambaten pun meledak. Seolah-olah sudah pasti terjadi suatu bencana pada suaminya. Air matanya mengucur deras. Istri Kepala kampung mengambil alih menggendong Pudun yang masih saja pulas dalam tidurnya.
Warga banyak berdatangan. Kebanyakan bapak-bapak dan pemuda. Ibu-ibu datang tak sebanyak laki-laki. Mereka ingin tahu musibah apa gerangan yang telah terjadi.
Pak Arlem menjelaskan kepada warganya tentang Merdang yang tak kunjung pulang dari ladang hingga malam begini. Dia mengajak warganya untuk bersama-sama mencari Merdang. Setelah diskusi kecil, warga mempersiapkan diri dengan penerangan seadanya, obor minyak tanah. Mereka mencari di pohon aren terdekat lebih dahulu.
Mendekati pohon aren, warga memanggil-manggil Merdang. Berteriak-teriak dan berharap dapat sahutan. Tambaten pun ikut di serta di tengah rombongan para lelaki itu. Sembari menangis, disuluhnya setiap jengkal semak belukar dengan obor.
Hampir tiga puluh menit, Merdang belum ketemu juga. Tiba-tiba seseorang berteriak histeris membangunkan bulu remang para pencari. "Itu dia!" teriak lelaki separuh baya sambil berlari-lari meloncati semak. Sontak rombongan kaget dan berkerumun mendekatinya.
"Di mana?" hampir serentak para pencari bertanya.
"Itu! Di dekat pohon talas di lembah itu!"
Tambaten menangis sejadi-jadinya. Malam makin mencekam manakala warga menerangi tubuh Merdang yang sudah menjadi mayat. Tubuhnya hangus terbakar.
Tambaten menangis, tepatnya meraung histeris, sepanjang jalan pulang. Berduyun-duyun warga memenuhi halaman rumah Merdang. Warga berbisik-bisik menyebut Merdang tewas disambar petir yang tadi sore terdengar lebih nyaring.
Esoknya, saat penguburan jasad Merdang, Tambaten bertingkah aneh. Dengan tangis yang serak nyaris tak bersuara lagi, ia minta dikubur bersama kekasihnya. Warga pun meneteskan air mata karena haru. Malang betul nasibnya.
***
Makin sempurna malang nasib Nini Berneh. Tigapuluh tahun kemudian, terjadi peristiwa yang sama. Di tengah sawah, petir pun merenggut Pudun dan Cinur menantunya sekaligus. Masih beruntung Nini Berneh memiliki seorang cucu perempuan, Kesti. Putri semata wayang Pudun dengan Cinur. Hatinya sangat hancur. Dipeluk cucunya dengan erat. Mulutnya berdesis mengucap janji untuk membesarkan cucunya. Dan menjaganya dari apapun.
Di langit, guntur masih saja menggelegar. Seperti belum puas membentak-bentak bumi yang tak bersalah apa-apa. Dia mendapati cucunya sedang meringkuk di pojok rumah. Wajahnya pucat sekali. Kedua tangannya dalam keadaan siap untuk menutup mata, bukan untuk menutup telinga karena dia seorang yang tuli. Nini Berneh jelas sekali mendengar degup jantung cucunya. Mata cucunya terbelalak, nafasnya berdengus di dekat wajah Nini Berneh. Cucunya dalam ketakutan yang sangat luar biasa.
Tak lama, Nini Berneh bergegas keluar rumah. Diacungkannya belati suaminya ke langit. Berteriak-teriak membentak langit untuk segera mengeluarkan petir dari persembunyiannya. Nini Berneh menantangnya untuk bertarung.
Warga pun terheran-heran karena hampir puluhan tahun lamanya Nini Berneh tak pernah bicara. Tepatnya sejak Pudun dan menantunya meninggal. Dan, ternyata cucunya pun terlahir sebagai seorang tuna rungu dan tuna wicara.
Dalam keheranan, tidak seorang pun warga kampung tampak hendak mencegah tindakan Nini Berneh yang berbahya itu. Lebih baik melindungi diri sendiri dari sambaran petir yang kerap makan korban di kampung ini, begitu pikir warga.
Petir pun bersahutan di langit seperti sedang membuat rencana besar untuk menyerang Nini Berneh. Tak surut walau sedikit, makin keras saja teriakan wanita tua itu di halaman rumahnya. Diperingatkannya petir yang congkak itu untuk tidak lagi semena-mena menakuti cucunya.
Tiba-tiba sekali, terdengar suara gelegar dahsyat di depan rumahnya. Dhuaaaar!!! Kilatan pijar yang panjang dan tajam tampak menyerang Nini Berneh. Tapi, melebihi kecepatan kilat, Nini Berneh berhasil menancapkan belati cap garpu ke tanah. Dikuburnya petir itu di sana. Petir terakhir! (Jangan ditiru!)
Jakarta, Nopember 2011
Dengan tertatih-tatih, Nini Berneh tiba di gubuknya yang compang-camping tapi masih cukup layak sebagai tempat berteduh. Beratap ilalang dan ijuk dengan dinding dari tepas anyaman bambu.
Dibakarnya sabut kelapa dengan mancis berminyak tanah yang selalu di simpan di gubuk. Dibuatnya api untuk meringkus dingin yang sembunyi di tubuhnya. Dagunya gemetar menggigil. Bibirnya pun membiru. Dibukanya baju dan korsetnya untuk dikeringkan. Kedua buah dadanya yang keriput menggantung memelas. Tak ada lemak di sana. Dijemputnya hangat api dengan mendekatkan telapak tangannya ke perapian, dibagikan ke leher dan wajahnya.
Di luar, hujan tampak belum mengurangi derasnya. Daun talas dekat gubuk pun ditabuh riuh oleh guguran langit.
Disodoknya bara api dengan kayu bakar untuk menambah nyala. Sesekali ditiupnya dengan bantuan sepotong bambu. Dijauhkannya wajah dari asap. Dirabanya baju dan korsetnya yang dijemur dekat perapian ternyata belum kering betul. Di buangnya pandangan ke tepas dinding anyaman bambu. Terselip di sana sebilah belati milik almarhum suaminya. Melihat belati itu, Nini Berneh seperti menghidupkan kembali suaminya.
"Orang baik tidak harus berumur panjang!" gumam wanita tua dalam hati.
Dijaganya api supaya tetap menyala dengan baik. Seperti dia menjaga catatan-catatan masa lalunya.
Kembali dia membongkar-bongkar catatan masa silam. Berharap menemukan selembar bahagia yang terlupa di tumpukan derita dan kepedihan. Ada selembar catatan yang paling sering dibacanya hingga lembaran itu tampak lebih usang dari lembaran lainnya.
Merdang adalah seorang lelaki pekerja keras penuh cinta dan tanggung jawab. Setidaknya, begitu menurut Nini Berneh yang sebenarnya bernama Tambaten tentang suaminya. Sehari-hari dia bekerja sebagai guru sekolah dasar. Masih honorer ketika itu. Saban hari, sepulang mengajar, dia menyadap pohon aren untuk dijadikan gula merah.
Setelah makan siang sepulang mengajar, Merdang pamit kepada istrinya Tambaten yang sedang menyususi Pudun, anak mereka yang baru berusia satu setengah tahun. Diterabasnya gerimis, bergegas ke ladang dengan membawa perlengkapannya menyadap. Dua buah jerigen 20 literan digantung di ujung bambu pemikul. Tentu tidak lupa belati cap garpu di pinggangnya. Belati cap garpu lebih baik karena dibuat dari baja terbaik, kata Merdang membanggakan belatinya.
Dipikulnya jerigen menyusuri jalan setapak. Di mulutnya terselip tembakau yang dilinting dengan daun nipah. Kadang dilemparkannya asap tembakau ke udara. Terbuar baunya di sepanjang jalan yang dilaluinya.
Merdang memanjat pohon aren dengan tangga sebatang bambu yang diikatkan ke pohonnya. Kiran, potongan bambu besar penampung nira aren, yang telah berisi diturunkan dan digantikannya dengan yang kosong untuk menampung nira aren yang manis.
Hari masih sore ketika ia tiba di rumah dengan hasil sadapannya. Ia tuang nira aren ke dalam kuali yang sudah menganga di atas tungku. Tentunya dituang sambil menyaring. Beberapa tawon dan serangga lainnya terjebak di saringan. Tambaten, istrinya, siap menjadikannya gula merah
"Aduh, belati dan tembakauku ketinggalan di pohon aren dekat kampung, Bu!" tiba-tiba Merdang teringat karena ingin menghisap tembakaunya. "Sebentar saya jemput ya, Bu!" lanjutnya dan buru-buru keluar dari pintu dapur tempat istrinya memasak gula.
Tambaten ingin mencegahnya tapi sudah terlambat karena suaminya keburu melompat keluar dari pintu dapur. Tambaten hanya berdiri di pintu dapur, melihat punggung suaminya yang sedang berlari-lari. Tambaten melihat langit kelabu ditingkahi gemuruh guntur. Pudun, anak mereka yang dilahirkannya setelah sepuluh tahun menikah, terdengar menangis di rebahannya. Setelah sebentar mengaduk nira aren, diambilnya anaknya untuk digendong. Disusuinya Pudun dan dibuai, tapi tak kunjung diam dari tangisnya. Mungkin digigit serangga, pikirnya lalu membuka baju anaknya dan memeriksa. Tidak ada apa-apa. Dibuainya buah hatinya dengan menyanyikan lagu sembari mengaduk-aduk larutan nira yang mulai berubah warna.
Hujan di luar deras seperti air tumpah. Atap dapur yang bocor ditampungnya dengan ember dan wadah lainnya. Irama tetesan hujan di wadah penampung air bocor menyita perhatian anaknya dan akhirnya tertidur.
Hari sudah gelap ketika hujan berhenti menggagahi bumi. Merdang belum juga pulang. Mungkin, setelah mengambil belati dan tembakaunya, dia kembali lagi ke ladang untuk memetik terong yang tumbuh di sekeliling gubuk, pikir Tambaten menampik pikiran yang bukan-bukan. Dia sangat suka dengan gulai terong yang dicampur dengan daun singkong serta diberi serai yang digebuk, katanya lagi menekan galaunya.
Kampung sangat gelap. Rumah-rumah penduduk hanya diterangi lampu teplok. Suara jangkrik mengikuti langkah Tambaten yang tergesa-gesa di kegelapan. Pudun tertidur pulas dalam gendongannya. Dengan nafas masih tersengal, diketuknya pintu rumah Arlem, kepala kampung.
"Siapa?" terdengar suara dari dalam rumah berdinding papan itu.
"Saya, Pak. Tambaten, sitrinya Merdang," jawabnya. Tak lama, pintu berdenyit dibuka oleh istri kepala kampung.
"Oh, kamu. Ayuh, silakan masuk."
"Ada apa, datang malam-malam begini, Nak?" kepala kampung keluar dari kamar sembari membetulkan sarung di pinggangnya.
"Merdang belum pulang dari ladang. Tadi ia menjemput belatinya yang ketinggalan, Pak." jelas Tambaten dengan suara gemetar. Pak Arlem, meminta istrinya untuk memberikan segelas air putih kepada Tambaten.
Pak Arlem keluar memukul kentongan untuk memanggil warga. Mendengar suara kentongan, tangis Tambaten pun meledak. Seolah-olah sudah pasti terjadi suatu bencana pada suaminya. Air matanya mengucur deras. Istri Kepala kampung mengambil alih menggendong Pudun yang masih saja pulas dalam tidurnya.
Warga banyak berdatangan. Kebanyakan bapak-bapak dan pemuda. Ibu-ibu datang tak sebanyak laki-laki. Mereka ingin tahu musibah apa gerangan yang telah terjadi.
Pak Arlem menjelaskan kepada warganya tentang Merdang yang tak kunjung pulang dari ladang hingga malam begini. Dia mengajak warganya untuk bersama-sama mencari Merdang. Setelah diskusi kecil, warga mempersiapkan diri dengan penerangan seadanya, obor minyak tanah. Mereka mencari di pohon aren terdekat lebih dahulu.
Mendekati pohon aren, warga memanggil-manggil Merdang. Berteriak-teriak dan berharap dapat sahutan. Tambaten pun ikut di serta di tengah rombongan para lelaki itu. Sembari menangis, disuluhnya setiap jengkal semak belukar dengan obor.
Hampir tiga puluh menit, Merdang belum ketemu juga. Tiba-tiba seseorang berteriak histeris membangunkan bulu remang para pencari. "Itu dia!" teriak lelaki separuh baya sambil berlari-lari meloncati semak. Sontak rombongan kaget dan berkerumun mendekatinya.
"Di mana?" hampir serentak para pencari bertanya.
"Itu! Di dekat pohon talas di lembah itu!"
Tambaten menangis sejadi-jadinya. Malam makin mencekam manakala warga menerangi tubuh Merdang yang sudah menjadi mayat. Tubuhnya hangus terbakar.
Tambaten menangis, tepatnya meraung histeris, sepanjang jalan pulang. Berduyun-duyun warga memenuhi halaman rumah Merdang. Warga berbisik-bisik menyebut Merdang tewas disambar petir yang tadi sore terdengar lebih nyaring.
Esoknya, saat penguburan jasad Merdang, Tambaten bertingkah aneh. Dengan tangis yang serak nyaris tak bersuara lagi, ia minta dikubur bersama kekasihnya. Warga pun meneteskan air mata karena haru. Malang betul nasibnya.
***
Makin sempurna malang nasib Nini Berneh. Tigapuluh tahun kemudian, terjadi peristiwa yang sama. Di tengah sawah, petir pun merenggut Pudun dan Cinur menantunya sekaligus. Masih beruntung Nini Berneh memiliki seorang cucu perempuan, Kesti. Putri semata wayang Pudun dengan Cinur. Hatinya sangat hancur. Dipeluk cucunya dengan erat. Mulutnya berdesis mengucap janji untuk membesarkan cucunya. Dan menjaganya dari apapun.
Di langit, guntur masih saja menggelegar. Seperti belum puas membentak-bentak bumi yang tak bersalah apa-apa. Dia mendapati cucunya sedang meringkuk di pojok rumah. Wajahnya pucat sekali. Kedua tangannya dalam keadaan siap untuk menutup mata, bukan untuk menutup telinga karena dia seorang yang tuli. Nini Berneh jelas sekali mendengar degup jantung cucunya. Mata cucunya terbelalak, nafasnya berdengus di dekat wajah Nini Berneh. Cucunya dalam ketakutan yang sangat luar biasa.
Tak lama, Nini Berneh bergegas keluar rumah. Diacungkannya belati suaminya ke langit. Berteriak-teriak membentak langit untuk segera mengeluarkan petir dari persembunyiannya. Nini Berneh menantangnya untuk bertarung.
Warga pun terheran-heran karena hampir puluhan tahun lamanya Nini Berneh tak pernah bicara. Tepatnya sejak Pudun dan menantunya meninggal. Dan, ternyata cucunya pun terlahir sebagai seorang tuna rungu dan tuna wicara.
Dalam keheranan, tidak seorang pun warga kampung tampak hendak mencegah tindakan Nini Berneh yang berbahya itu. Lebih baik melindungi diri sendiri dari sambaran petir yang kerap makan korban di kampung ini, begitu pikir warga.
Petir pun bersahutan di langit seperti sedang membuat rencana besar untuk menyerang Nini Berneh. Tak surut walau sedikit, makin keras saja teriakan wanita tua itu di halaman rumahnya. Diperingatkannya petir yang congkak itu untuk tidak lagi semena-mena menakuti cucunya.
Tiba-tiba sekali, terdengar suara gelegar dahsyat di depan rumahnya. Dhuaaaar!!! Kilatan pijar yang panjang dan tajam tampak menyerang Nini Berneh. Tapi, melebihi kecepatan kilat, Nini Berneh berhasil menancapkan belati cap garpu ke tanah. Dikuburnya petir itu di sana. Petir terakhir! (Jangan ditiru!)
Jakarta, Nopember 2011
Langganan:
Postingan (Atom)