Kamis, 06 September 2012

Petri Terakhir

Tengah hari, langit tampak bermuram di sekeliling pandang. Terdengar gemuruh seperti suara benturan batu besar yang ditubrukkan. Percikan listrik pun berlesatan di langit. Setiap bentakan menggelegar, menyeruak pula kilau panjang yang tajam seperti hendak membelah bumi. Disebatnya nyawa sebatang pohon kelapa persis di hadapan Nini Berneh. Lagi. Wanita tua bungkuk itu tampak tidak mengebut langkah ke arah gubuk di pinggir ladang. Dibiarkannya angin merontokkan dan menerbangkan dedaunan. Tak jarang pula, dahan-dahan dipisahkan dengan batangnya. Buah langit berguguran seperti paku menghujami tubuhnya.

Dengan tertatih-tatih, Nini Berneh tiba di gubuknya yang compang-camping tapi masih cukup layak sebagai tempat berteduh. Beratap ilalang dan ijuk dengan dinding dari tepas anyaman bambu.

Dibakarnya sabut kelapa dengan mancis berminyak tanah yang selalu di simpan di gubuk. Dibuatnya api untuk meringkus dingin yang sembunyi di tubuhnya. Dagunya gemetar menggigil. Bibirnya pun membiru. Dibukanya baju dan korsetnya untuk dikeringkan. Kedua buah dadanya yang keriput menggantung memelas. Tak ada lemak di sana. Dijemputnya hangat api dengan mendekatkan telapak tangannya ke perapian, dibagikan ke leher dan wajahnya.

Di luar, hujan tampak belum mengurangi derasnya. Daun talas dekat gubuk pun ditabuh riuh oleh guguran langit.

Disodoknya bara api dengan kayu bakar untuk menambah nyala. Sesekali ditiupnya dengan bantuan sepotong bambu. Dijauhkannya wajah dari asap. Dirabanya baju dan korsetnya yang dijemur dekat perapian ternyata belum kering betul. Di buangnya pandangan ke tepas dinding anyaman bambu. Terselip di sana sebilah belati milik almarhum suaminya. Melihat belati itu, Nini Berneh seperti menghidupkan kembali suaminya.

"Orang baik tidak harus berumur panjang!" gumam wanita tua dalam hati.

Dijaganya api supaya tetap menyala dengan baik. Seperti dia menjaga catatan-catatan masa lalunya.

Kembali dia membongkar-bongkar catatan masa silam. Berharap menemukan selembar bahagia yang terlupa di tumpukan derita dan kepedihan. Ada selembar catatan yang paling sering dibacanya hingga lembaran itu tampak lebih usang dari lembaran lainnya.

Merdang adalah seorang lelaki pekerja keras penuh cinta dan tanggung jawab. Setidaknya, begitu menurut Nini Berneh yang sebenarnya bernama Tambaten tentang suaminya. Sehari-hari dia bekerja sebagai guru sekolah dasar. Masih honorer ketika itu. Saban hari, sepulang mengajar, dia menyadap pohon aren untuk dijadikan gula merah.

Setelah makan siang sepulang mengajar, Merdang pamit kepada istrinya Tambaten yang sedang menyususi Pudun, anak mereka yang baru berusia satu setengah tahun. Diterabasnya gerimis, bergegas ke ladang dengan membawa perlengkapannya menyadap. Dua buah jerigen 20 literan digantung di ujung bambu pemikul. Tentu tidak lupa belati cap garpu di pinggangnya. Belati cap garpu lebih baik karena dibuat dari baja terbaik, kata Merdang membanggakan belatinya.

Dipikulnya jerigen menyusuri jalan setapak. Di mulutnya terselip tembakau yang dilinting dengan daun nipah. Kadang dilemparkannya asap tembakau ke udara. Terbuar baunya di sepanjang jalan yang dilaluinya.

Merdang memanjat pohon aren dengan tangga sebatang bambu yang diikatkan ke pohonnya. Kiran, potongan bambu besar penampung nira aren, yang telah berisi diturunkan dan digantikannya dengan yang kosong untuk menampung nira aren yang manis.

Hari masih sore ketika ia tiba di rumah dengan hasil sadapannya. Ia tuang nira aren ke dalam kuali yang sudah menganga di atas tungku. Tentunya dituang sambil menyaring. Beberapa tawon dan serangga lainnya terjebak di saringan. Tambaten, istrinya, siap menjadikannya gula merah

"Aduh, belati dan tembakauku ketinggalan di pohon aren dekat kampung, Bu!" tiba-tiba Merdang teringat karena ingin menghisap tembakaunya. "Sebentar saya jemput ya, Bu!" lanjutnya dan buru-buru keluar dari pintu dapur tempat istrinya memasak gula.

Tambaten ingin mencegahnya tapi sudah terlambat karena suaminya keburu melompat keluar dari pintu dapur. Tambaten hanya berdiri di pintu dapur, melihat punggung suaminya yang sedang berlari-lari. Tambaten melihat langit kelabu ditingkahi gemuruh guntur. Pudun, anak mereka yang dilahirkannya setelah sepuluh tahun menikah, terdengar menangis di rebahannya. Setelah sebentar mengaduk nira aren, diambilnya anaknya untuk digendong. Disusuinya Pudun dan dibuai, tapi tak kunjung diam dari tangisnya. Mungkin digigit serangga, pikirnya lalu membuka baju anaknya dan memeriksa. Tidak ada apa-apa. Dibuainya buah hatinya dengan menyanyikan lagu sembari mengaduk-aduk larutan nira yang mulai berubah warna.

Hujan di luar deras seperti air tumpah. Atap dapur yang bocor ditampungnya dengan ember dan wadah lainnya. Irama tetesan hujan di wadah penampung air bocor menyita perhatian anaknya dan akhirnya tertidur.

Hari sudah gelap ketika hujan berhenti menggagahi bumi. Merdang belum juga pulang. Mungkin, setelah mengambil belati dan tembakaunya, dia kembali lagi ke ladang untuk memetik terong yang tumbuh di sekeliling gubuk, pikir Tambaten menampik pikiran yang bukan-bukan. Dia sangat suka dengan gulai terong yang dicampur dengan daun singkong serta diberi serai yang digebuk, katanya lagi menekan galaunya.

Kampung sangat gelap. Rumah-rumah penduduk hanya diterangi lampu teplok. Suara jangkrik mengikuti langkah Tambaten yang tergesa-gesa di kegelapan. Pudun tertidur pulas dalam gendongannya. Dengan nafas masih tersengal, diketuknya pintu rumah Arlem, kepala kampung.

"Siapa?" terdengar suara dari dalam rumah berdinding papan itu.

"Saya, Pak. Tambaten, sitrinya Merdang," jawabnya. Tak lama, pintu berdenyit dibuka oleh istri kepala kampung.

"Oh, kamu. Ayuh, silakan masuk."

"Ada apa, datang malam-malam begini, Nak?" kepala kampung keluar dari kamar sembari membetulkan sarung di pinggangnya.

"Merdang belum pulang dari ladang. Tadi ia menjemput belatinya yang ketinggalan, Pak." jelas Tambaten dengan suara gemetar. Pak Arlem, meminta istrinya untuk memberikan segelas air putih kepada Tambaten.

Pak Arlem keluar memukul kentongan untuk memanggil warga. Mendengar suara kentongan, tangis Tambaten pun meledak. Seolah-olah sudah pasti terjadi suatu bencana pada suaminya. Air matanya mengucur deras. Istri Kepala kampung mengambil alih menggendong Pudun yang masih saja pulas dalam tidurnya.

Warga banyak berdatangan. Kebanyakan bapak-bapak dan pemuda. Ibu-ibu datang tak sebanyak laki-laki. Mereka ingin tahu musibah apa gerangan yang telah terjadi.

Pak Arlem menjelaskan kepada warganya tentang Merdang yang tak kunjung pulang dari ladang hingga malam begini. Dia mengajak warganya untuk bersama-sama mencari Merdang. Setelah diskusi kecil, warga mempersiapkan diri dengan penerangan seadanya, obor minyak tanah. Mereka mencari di pohon aren terdekat lebih dahulu.

Mendekati pohon aren, warga memanggil-manggil Merdang. Berteriak-teriak dan berharap dapat sahutan. Tambaten pun ikut di serta di tengah rombongan para lelaki itu. Sembari menangis, disuluhnya setiap jengkal semak belukar dengan obor.

Hampir tiga puluh menit, Merdang belum ketemu juga. Tiba-tiba seseorang berteriak histeris membangunkan bulu remang para pencari. "Itu dia!" teriak lelaki separuh baya sambil berlari-lari meloncati semak. Sontak rombongan kaget dan berkerumun mendekatinya.

"Di mana?" hampir serentak para pencari bertanya.

"Itu! Di dekat pohon talas di lembah itu!"

Tambaten menangis sejadi-jadinya. Malam makin mencekam manakala warga menerangi tubuh Merdang yang sudah menjadi mayat. Tubuhnya hangus terbakar.

Tambaten menangis, tepatnya meraung histeris, sepanjang jalan pulang. Berduyun-duyun warga memenuhi halaman rumah Merdang. Warga berbisik-bisik menyebut Merdang tewas disambar petir yang tadi sore terdengar lebih nyaring.

Esoknya, saat penguburan jasad Merdang, Tambaten bertingkah aneh. Dengan tangis yang serak nyaris tak bersuara lagi, ia minta dikubur bersama kekasihnya. Warga pun meneteskan air mata karena haru. Malang betul nasibnya.

***

Makin sempurna malang nasib Nini Berneh. Tigapuluh tahun kemudian, terjadi peristiwa yang sama. Di tengah sawah, petir pun merenggut Pudun dan Cinur menantunya sekaligus. Masih beruntung Nini Berneh memiliki seorang cucu perempuan, Kesti. Putri semata wayang Pudun dengan Cinur. Hatinya sangat hancur. Dipeluk cucunya dengan erat. Mulutnya berdesis mengucap janji untuk membesarkan cucunya. Dan menjaganya dari apapun.

Di langit, guntur masih saja menggelegar. Seperti belum puas membentak-bentak bumi yang tak bersalah apa-apa. Dia mendapati cucunya sedang meringkuk di pojok rumah. Wajahnya pucat sekali. Kedua tangannya dalam keadaan siap untuk menutup mata, bukan untuk menutup telinga karena dia seorang yang tuli. Nini Berneh jelas sekali mendengar degup jantung cucunya. Mata cucunya terbelalak, nafasnya berdengus di dekat wajah Nini Berneh. Cucunya dalam ketakutan yang sangat luar biasa.

Tak lama, Nini Berneh bergegas keluar rumah. Diacungkannya belati suaminya ke langit. Berteriak-teriak membentak langit untuk segera mengeluarkan petir dari persembunyiannya. Nini Berneh menantangnya untuk bertarung.

Warga pun terheran-heran karena hampir puluhan tahun lamanya Nini Berneh tak pernah bicara. Tepatnya sejak Pudun dan menantunya meninggal. Dan, ternyata cucunya pun terlahir sebagai seorang tuna rungu dan tuna wicara.

Dalam keheranan, tidak seorang pun warga kampung tampak hendak mencegah tindakan Nini Berneh yang berbahya itu. Lebih baik melindungi diri sendiri dari sambaran petir yang kerap makan korban di kampung ini, begitu pikir warga.

Petir pun bersahutan di langit seperti sedang membuat rencana besar untuk menyerang Nini Berneh. Tak surut walau sedikit, makin keras saja teriakan wanita tua itu di halaman rumahnya. Diperingatkannya petir yang congkak itu untuk tidak lagi semena-mena menakuti cucunya.

Tiba-tiba sekali, terdengar suara gelegar dahsyat di depan rumahnya. Dhuaaaar!!! Kilatan pijar yang panjang dan tajam tampak menyerang Nini Berneh. Tapi, melebihi kecepatan kilat, Nini Berneh berhasil menancapkan belati cap garpu ke tanah. Dikuburnya petir itu di sana. Petir terakhir! (Jangan ditiru!)

Jakarta, Nopember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar