Artikel di sebuah majalah bekas yang kubaca
mengatakan bahwa pria cenderung menjadi gemuk setelah menikah.
Alasannya, karena pola hidup si pria menjadi lebih baik dan teratur. Tak
kalah pentingnya faktor psikis, si pria merasa nyaman dan tenteram.
"Mungkin, hanya akulah pria di dunia ini yang menjadi kurus setelah menikah!" gumamku dalam hati.
Dengan sengit kulempar majalah bekas ke atas meja. Praaak!!! Tak cukup
hanya itu, kutendang lagi kaki meja di hadapanku. Tentu tak sekuat
tenaga. Kusetel televisi dengan volume keras. Aku membuat suara gaduh
supaya wanita itu terusik dari tidurnya. Lalu terbangun dan segera
membuatkanku secangkir kopi serta menemaniku menonton pertandingan sepak
bola. Ah, keterlaluan bila aku mengharapkan hal-hal seromantis itu
darinya. Dibukakan pintu sepulang kerja saja aku tak pernah lagi.
Bukankah kunci duplikat rumah kita juga ada padamu, katanya tanpa merasa
berdosa.
Menyebalkan, komentator bola itu masih saja asyik dengan ulasannya
tentang kedua tim yang berlaga. Kubiarkan televisi menontonku sedang
membuatkan secangkir kopi. Sendok pun kubenturkan keras-keras ke cangkir
saat menyeduh kopi. Bahkan dengan sengaja pula kujatuhkan ke lantai
sebuah panci aluminium beserta tutupnya. Praaaaaang!
Kuintip wanita itu di kamar. Alamak, dia tak mendengarnya? Masih
meringkuk seperti tadi. Kudekati untuk memastikan. Benar, dia pulas
dengan dengkuran level tiga. Kalau dengkurannya sudah di level lima, aku
harus menutup pintu kamar. Aku khawatir dengkuran level limanya
mengganggu konsentrasi para pemain bola yang sedang bertanding di
televisi. Tanpa remote control pun, channel televisi bisa berpindah
karena dengkurannya.
Kuseruput kopiku dan kurasakan hangatnya melalui tenggorokan.
Kuselonjorkan kaki di atas meja dan bersiap untuk suguhan pertandingan.
Seperti biasa, beberapa iklan dulu. Entah pertimbangan apa produk rokok
menjadi sponsor olah raga di negeri ini. Bedebah! Komentatornya muncul
lagi hanya untuk mengucapkan salam berpisah. Ternyata pertandingan yang
kutunggu-tunggu sudah usai saat tadi aku menyetel televisi. Dalam
keadaan seperti ini, aku harus menemukan seseorang untuk disalahkan.
Mataku segera menjelajah seluruh sudut rumah dan mencari-cari yang bisa
kujadikan sebagai kambing hitam kejadian bodoh ini. Tentu saja mataku
yang sakti dapat menembus gordyn tebal di pintu kamar dan menemukan
sesosok tubuh di sana.
Aku duduk di tepi ranjang. Wanita itu masih pulas dalam tidurnya.
Lehernya mendongak. Posisi yang pas sekali untuk mencekiknya, pikirku.
Jantungku makin cepat memompakan darah ke seluruh tubuhku. Dadaku
berdebar-debar ketika kedua telapak tanganku hampir menyentuh lehernya.
Lama tanganku bergetar di atas lehernya. Kudengar suara cicak di ruang
tamu mengejekku yang tak bernyali membalaskan dendam.
Aku perlu mengumpulkan keberanian untuk melakukannya, pikirku.
Kusambar kunci rumah di atas televisi. Aku keluar rumah menuju tempat
sampah. Disana kulihat tujuh pot kaktusku meradang tak berdaya. Kemarin,
dengan mata kepalaku sendiri, kulihat wanita itu menendangnya dari
teras. Enggak ada indahnya kaktus ini, lebih baik digantikan dengan
anggrek atau bunga lainnya, katanya. Anehnya, aku tak mencegah wanita
itu melakukan aksinya. Bahkan aku terkesima dengan akurasi tendangannya.
Bagaimana dia bisa menendang pot bungaku seakurat tendangan Bekham
memberi assist kepada striker. Tujuh tendangannya sukses memasukkan pot
bungaku ke dalam tong sampah.
Kulihat penderitaan kaktus-kaktusku. Aku terenyuh. Mereka hanya menaruh
harapan padaku. Aku pun berbisik-bisik kepada satu per satu
kaktus-kaktusku untuk tetap tabah akan cobaan yang menimpa mereka. Dan,
aku akan menuntut balas atas kesewenang-wenangan ini.
Kukepalkan tinju. Aku masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu.
Pasti kaktusku senang melihat kegeramanku. Atau, mungkin mereka sedang
berbisik satu sama lain soal kepahlawanaku. Dengan kasar aku sibak
gordyn pintu kamar. Mataku melotot penuh geram. Nafasku tersengal hingga
cuping hidungku mekar. Tiba-tiba aku disambut bunyi peluit aneh. Puih….
seisi kamar disesaki aroma tak sedap. Aku menutup hidung dan mundur
teratur. Mungkin wanita ini terlalu banyak memakan kubis tadi siang.
Dengan masih menutup hidung, aku duduk di sofa sambil mengipas-ngipaskan
majalah di depan wajah. Soal makan memang wanita ini jagonya. Selera
makannyalah yang membuatku diterima bekerja sebagai koki di sebuah
restoran. Wanita ini beserta gengnya yang berjumlah belasan orang
menjadi pengunjung tetap di restoran tempatku magang. Wanita ini tampak
akrab dengan pemilik restoran. Pernah aku melihat mereka berbincang
seraya sesekali melirik ke arahku. Pemilik restoran hanya mengatakan
bahwa aku punya hoki di restoran ini.
"Namaku Sere, nama kamu Damara ‘kan?" katanya saat pertama kali kami berkenalan.
"Iya, betul, namaku Damara!" sahutku.
"Kare Kepiting Mangga Mudamu enak. Aku dan teman-temanku suka!" pujinya.
"Terimakasih sudah memujiku," ucapku sambil menunduk. Tentu dengan senyum manis yang aku bisa.
Dia juga senyum. Manis sekali. Giginya rapi dan putih. Layak menjadi bintang iklan pasta gigi.
Setelah berkenalan tiga bulan lebih, kami semakin akrab. Kami semakin
sering bertemu di luar restoran. Karena sudah mengenal sifatnya yang
blak-blakan, aku tak kaget ketika dia mengatakan keinginannya untuk
meningkatkan hubungan kami ke taraf pacaran.
Tetapi ketika hubungan kami meningkat ke taraf yang lebih serius,
bertunangan, aku menjadi sulit tidur. Suhunan, temanku sepemondokan,
juga punya andil besar atas keragu-raguanku ini. Betapa tidak?
Suhunanlah yang meletakkan masalah ini di dalam otakku. Sebelumnya,
hanya berupa spora beterbangan di atas kepala.
"Aku enggak yakin kalau Sere itu benar-benar perempuan, Damara!" kata Suhunan suatu ketika di lapangan bulutangkis.
"Maksudmu?" tanyaku sedatar mungkin. Semoga saja Suhunan tidak
mengetahui bahwa aku juga mencurigai hal yang sama. Soalnya, aku pernah
dibantingnya hanya dengan sebelah tangan. Tenaganya sangat kuat layaknya
seorang pria perkasa.
"Kamu tak lihat berita di koran-koran itu? Berita siang di televisi
pernah menyiarkan bahwa seorang pengantin perempuan itu ternyata seorang
laki-laki. Nah, kamu mau nasibmu seperti yang di koran-koran atau di
tivi itu?" tanya Suhunan dengan nada serius.
Aku termangu.
"Mumpung belum terlanjur, pastikan dulu bahwa dia itu benar-benar perempuan,"
"Caranya?" tanyaku sangat polos dan berharap mendapatkan saran yang jitu.
Mendengar pertanyaanku, Suhunan tertawa sampai mengeluarkan air mata.
Bahunya berguncang-guncang. Perutnya pun naik turun memompa udara ke
tenggorokannya untuk menghasilkan tawa yang keras. Banyak orang menoleh
ke arah kami karena suara tawanya.
Beberapa saat kemudian, Suhunan menarik tanganku dan bergegas masuk ke
kantin. Kami duduk di meja paling pojok. Otakku merekam semua saran dari
sobatku ini tanpa terlewat sedikit pun. Ternyata begitu mudahnya
memastikan jenis kelamin Sere. Hmm, Suhunan memang seorang laki-laki
berpengalaman dan cerdas, pujiku dalam hati. Andai saja aku tak punya
teman cerdas seperti Suhunan, tentulah aku akan habis dihajar oleh Sere.
Bagaimana tidak? Aku hanya tahu satu cara untuk mengetahui jenis
kelamin seseorang yang kita ragukan, yakni: melihatnya dengan mata
kepala sendiri.
Mengikuti saran sobatku, maka kumulai ikhtiar memastikan jenis kelamin
Sere. Pikiranku sudah terfokus ke sana. Maaf, maksudku, aku harus
sesegera mungkin memastikan jenis kelaminnya sebelum menyetujui
pertunangan kami.
Sebelum dipersilakan masuk ke gedung theater XXI, kami duduk di cafetaria dan kulemparkan sebuah teka-teki padanya.
"Coba tebak! Bersayap dan penghisap darah, apa coba?"
"Nyamuk!" jawabnya sambil menyentil kupingku seolah itu adalah taruhannya.
"Salah!" sahutku.
"Apa, dong?"
"Pembalut!" jawabku sambil menyentil daun telinganya tapi tak kena karena dia sudah siap untuk mengelak.
Sere tertawa.
"Ngomong-ngomong, pembalut merek apa yang paling nyaman kamu pakai?"
"Nggak ada yang benar-benar nyaman," jawabnya.
"Maksudmu tak satu pun dari merek pembalut itu yang benar-bear nyaman dipakai?"
Dia mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik bahwa dia tak suka
menggunakan pembalut. Mendengar pengakuannya, mulutku hanya bisa
menganga tanpa bicara. Tak salah lagi, dia seorang laki-laki. Ampun,
Gusti! Tubuhku berkeringat di dalam gedung XXI yang dingin. Film yang
diputar di layar lebar pun hanyalah gambar-gambar bergerak yang tak
kumengerti. Suara Dolby Stereonya
pun hampir tak kudengar. Yang ada di pikiranku hanya sebuah kejadian
memalukan. Aku bertunangan dengan seseorang yang berkelamin sama
denganku, laki-laki.
Setahun bertunangan dengan Sere, berarti setahun pula aku tersiksa oleh
keragu-raguanku sendiri. Bahwa aku mampu bertahan sejauh ini, mungkin
hanya karena besarnya keinginan untuk memastikan keperempuanannya.
Tujuh tahun aku sudah menikahinya. Dia belum melahirkan seorang anak pun
untukku. Banyak upaya yang sudah kami lakukan bersama. Konsultasi ke
beberapa dokter ahli bahkan ke pengobatan alternatif. Dokter Lismawan
menyarankan supaya Sere benar-benar istirahat, jangan terlalu letih.
Sere mengikuti saran dokter itu dan meninggalkan pekerjaannya sebagai
reporter televisi swasta. Hampir enam bulan dia seperti Ratu tidur.
Setelah meminum obat, dia akan tidur pulas dengan berbagai suara
dengkuran. Dari catatanku, ada sebelas jenis suara dengkurannya. Kali
ini dengkuran jenis kesembilan. Tak salah lagi, ini dengkurannya yang
paling kusuka. Seperti lagu nina bobo di telingaku.
Suara dengkuran itu pun semakin menghilang di pendengaranku. Samar-samar
kulihat sesosok wanita menghampiriku. Wajahnya mirip nenek lampir.
Bahkan lebih seram lagi. Betapa tidak, semua tubuhnya ditumbuhi duri
yang sangat tajam. Persis seperti duri kaktus. Dari warnanya yang hitam
berbelang kuning, pastilah duri itu sangat beracun. Aku melihat dengan
jelas duri-duri di telapak tangannya. Dia mencekikku sekuat tenaga.
Duri-duri beracun itu menancap di leherku. Aku berteriak dan
meronta-ronta berupaya melepaskan diri. Kakiku menjuntai ke bawah.
Meraba-raba pijakan untuk meloncat ke dalam jurang. Daripada menjadi
budak bagi nenek kaktus, lebih baik aku melompat ke jurang saja,
pikirku. Dan, aku pun melompat. Lebih tepatnya, aku menjatuhkan diri.
Gubrakkkkk!!!
"Mimpi buruk lagi ya, Bang?" Tanya seseorang yang baru keluar dari kamar mandi.
Wanita itu tertawa terpingkal-pingkal seperti sedang menonton acara lawak di sebuah televisi swasta.
Aku mendapati tubuhku tergeletak di lantai sejajar dengan sofa.
Buru-buru aku bangkit dan duduk di sofa. Tapi, aku masih linglung ketika
memandangi tubuh istriku berbalut handuk. Kusentuh tubuhnya dengan
lembut. Tidak berduri sama sekali. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar